Buku "Dalam Dekapan Zaman. Memoar Pegiat Harmoni Bumi." Peta Jalan Menuju Eco Conciousness

Buku "Dalam Dekapan Zaman. Memoar Pegiat Harmoni Bumi." Peta Jalan Menuju Eco Conciousness

Dalam perjalanan pembelajaran pribadi menuju diri yang berkesadaran lingkungan, tentu saja diperlukan guru dan pemandu. Setelah sekian lama berpindah dari satu buku bacaan ke bacaan lain yang, saya menemukan bahwa Buku "Dalam Dekapan Zaman. Memoar Pegiat Harmoni Bumi." merupakan sebuah Peta Jalan bagi pribadi-pribadi pembelajar yang ingin mengenal bumi, tempat tinggalnya, bahkan lebih dalam dari itu, mengenal dirinya sendiri.

Sebuah perjalanan pembelajaran diri mengenal bumi dan alam baru saja saya mulai sekitar tiga tahun lalu, tepatnya bermula di September 2022. Tujuan awalnya bermula karena dorongan 'kesehatan tubuh dan jiwa'. Ya, masih sangat berpusat pada diri, hingga dalam perjalanannya saya sadar, kesehatan tubuh dan jiwa tidak akan pernah lepas juga dari kesehatan bumi tempat kita tinggal. 

Selepas mengikuti kursus online tentang mikrobioma pada tubuh manusia, dan sedikit mencicipi pembelajaran tentang pertanian regeneratif dan permaculture, saya jadi tahu bahwa sama seperti lambung, tanah juga dihuni berbagai mikrobioma yang membuat tanaman yang tumbuh di atasnya sehat. 

Lambung dan tanah itu serupa, kita dan bumi ini adalah satu. Jika bumi sakit, maka sebenarnya begitu juga dengan manusianya. 

Di tengah perjalanan ini, saya tahu bahwa belajar tentang bumi atau alam berarti mengajak kesadaran manusia bangkit, dari ego menjadi eco. From ego to eco. Ternyata manusia perlu sadar tentang bumi dan lingkungan agar menjadi manusia seutuhnya atau eco conciousness. Seperti apakah manusia yang telah 'bangun dari tidurnya' dan punya kesadaran lingkungan? Buku "Dalam Dekapan Zaman. Memoar Pegiat Harmoni Bumi."  telah dapat menjawabnya dengan nyaris paripurna. 

Mari kita bahas beberapa bagian dari buku ini. 


Please judge book by it's cover selalu berlaku bagi saya pembaca picky yang tidak punya banyak waktu untuk memilih. Sampul buku yang menarik tentu saja menjadi salah satu cara untuk menentukan apakah sebuah buku layak untuk didahulukan dari tumpukan buku lainnya. Seperti halnya thumbnail cover pada sebuah video Youtube yang hanya tayang sepersekian detik, namun bisa menjadi penentu sebuah video akan ditonton atau tidak, begitu pula dengan sampul buku. 

Ilustrasi sampul buku "Dalam Dekapan Zaman. Memoar Pegiat Harmoni Bumi." dalam pandangan pertama saya, sangatlah feminin. Bukan hanya karena ada ilustrasi seorang perempuan yang sedang duduk di atas perahu kecil, namun juga karena pilihan warnanya. Warna feminin justru menjadi kekuatan karena menandakan secara psikologis membangkitkan sisi reflektif, atau sisi yin pembaca yang menyukai kedalaman makna dari sebuah buku. Tetapi yang tidak kalah menarik dari ilustrasi bukunya adalah gambar sepasang tangan, seperti menyelamatkan ranting (perahu kecil) yang mengapung di atas arus air yang tenang. Lagi-lagi, seperti ada unsur misterius yang belum terpecahkan. Dan seperti itulah bumi, selalu ada hal ajaib yang misterius, yang masih membuat kita sampai hari ini terus menjelajah. 

Secara teknis, berikut adalah identitas dari buku ini :

Judul Buku : Dalam Dekapan Zaman. Memoar Pegiat Harmoni Bumi. 

Penulis: Amanda Katili Niode, Ph.D. 

Penerbit: CV Diomedia – Solo Jawa Tengah 

Cetakan Pertama: Oktober 2024 

Jumlah Halaman: xxxviii + 420 hal 

Ukuran Buku: 15 x 23 cm ISBN : 978-623-8228-51-5

Secara fisik bukanlah buku ringkas yang bisa dibawa kemana-mana untuk selalu dibaca di waktu senggang. Maka tentu membaca buku ini perlu waktu duduk khusus, dan atensi dari pribadi-pribadi yang memang menyukai sebuah perjalanan panjang. Bagi sebagian orang buku jenis memoar begini pati akan terasa berat dan membosankan, tapi percayalah setelah menyelesaikan satu bab, kita tidak ingin berhenti untuk membaca semua bagiannya. 

Kabar baiknya, pembaca tidak harus membacanya secara berurutan. Ada sebelas bagian yang bisa dipilih sesuai dengan keterpanggilannya. 

Ini adalah daftar judul bab dalam Buku “Dalam Dekapan Zaman. Memoar Pegiat Harmoni Bumi” Didahului dengan Sekapur Sirih oleh Dr. Nurmala Kartini Sjahrir (Duta Besar dan Ketua Majelis Wali Amanat USU), Tentang Penulis dan Prolog, serta ditutup dengan Epilog, Daftar Pustaka dan juga Galeri Foto.




  • Bab 01. Mengenal Bumi, Nilai dan Nasibnya. 
  • Bab 02. Menggalang Memoar Untuk Bumi. 
  • Bab 03. Mengukir Landasan Pendidikan. 
  • Bab 04. Mengembangkan Profesi Harmoni Bumi. 
  • Bab 05. Menuju Masa Depan Berkelanjutan. 
  • Bab 06. Mendunia Dalam Dialog Global. 
  • Bab 07. Membawa Perubahan dengan Kata. 
  • Bab 08. Menginspirasi Melalui Climate Coaching. 
  • Bab 09. Mewacanakan Filsafat, Ilmu dan Teknologi. 
  • Bab 10. Mengangkat Citra Kuliner Lokal. 
  • Bab 11. Menjalin Kolaborasi Pemuda.
Dalam ulasan kali ini, saya akan memberikan beberapa paragraf yang merupakan highlight yang menarik (untuk saya) dari masing-masing bagian. 

Urutan saya membaca digerakkan oleh rasa penasaran saya terhadap sosok penulis buku ini, Ibu Amanda Katili Niode, Ph.D. Seperti ingin menelusuri bagaimana akar jiwanya tertanam saya pun terkesima dengan biografi singkat tentang penulisnya.Apa gerangan yang membuatnya begitu konsisten menjadi seorang pegiat bagi harmoni bumi?

Pertanyaan itu terjawab di Bab 1 yang berjudul "Mengenal Bumi, Nilai, dan Nasibnya." Rupanya Amanda kecil adalah 'tanah yang dijaga kesuburannya' oleh kedua orangtuanya, dan ditaburi benih-benih mencintai alam. Penulis menuturkan ibunya, Iliana Katili Uno yang bercerita bahwa sejak usia tiga tahun, sudah begitu akrab dengan istilah-istilah di bidang Geologi karena ayahnya, John Ario Katili menulis sebuah disertasi tentang massa Lassi (kumpulan batuan kompleks) di sebelah tenggara Danau Singkarak. 

Bab 1 adalah sebuah permulaan yang mengena sebab menyentil pemikiran pembaca dengan judulnya, apakah kamu sudah benar-benar mengenal bumi, yakinkah dengan betapa berharganya bumi, dan tahu nggak kelak nasibnya seperti apa? 

Bacalah bagian satu ini sampai kamu diingatkan bahwa gunung-gunung itu sebenarnya bergerak. 

Dan kamu memandang gunung-gunung itu, kamu sangka dia tidak bergerak, padahal ia berlalu laksana beraraknya mega..." (Surat An Naml ayat 98)

Di bagian ini, saya cukup tersentuh karena ayah Amanda, ketika itu ia sedang menulis pidato ilmiah bertanya pada Amanda yang saat itu berusia 11 tahun, apa padanan kata yang bagus untuk menggambarkan awan? Lalu dijawab, mega. 

Inilah hati Ibu Amanda yang selalu dijaga 'kesuburannya' oleh orangtuanya. Banyak orangtua yang mungkin kesulitan untuk menjelaskan pekerjaan yang dilakukannya kepada seorang anak, namun ayah Ibu Amanda tahu bagaimana mempersiapkan anaknya agar kelak menjadi penjaga harmoni bumi. Dengan melibatkannya, dengan menghargai hal kecil yang diberikan oleh anaknya. 

Penggalan cerita dari Bab 1 itu saja sudah cukup membuat saya paham mengapa Ibu Amanda sebagai penulis dapat melakukah berbagai kiprah luar biasa di bidang lingkungan. Berbagai testimoni dari 17 tokoh yang mempunyai beragam latar belakang keilmuan dan aktivitas yang ada di awal baru saya baca setelah membaca bagian 1, dan membuat saya semakin terperangah dengan kiprah beliau. 

Memahami Nilai Bumi.

Masih di Bab 1, bagian ini juga cukup membuat saya terdiam lama merenungi apa yang saya baca. Berikut adalah sedikit cuplikan dari paragrafnya :

Bumi merupakan bagian integral dari alam, berfungsi sebagai satu dari banyak planet di alam semesta yang mendukung kehidupan. Kaitan antara Bumi dan alam bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti ekosistem, siklus air, proses geologi, dan interaksi antara komponen biotik dan abiotik. Bumi menyediakan sumber daya alam yang diperlukan untuk keberlangsungan hidup berbagai spesies, termasuk manusia, melalui penyediaan air, udara, tanah, dan energi dan banyak manfaat lain yang memungkinkan manusia hidup sejahtera. 

Selain itu, proses alam seperti fotosintesis, siklus karbon, dan perputaran nutrisi menjaga keseimbangan dan kestabilan lingkungan hidup. Dengan demikian, kesehatan Bumi secara langsung memengaruhi keberlanjutan dan kesejahteraan ekosistem alam serta kehidupan yang bergantung padanya.

Di bagian tersebut mungkin bagi sebagian orang masih terasa textbook seperti buku panduan kuliah, namun, penulis kemudian menegaskan nilai bumi dengan mengutip kalimat dari Samuel Johnson : 

Menghindar dari alam adalah mengelak dari kebahagiaan. tulis Samuel Johnson, seorang penyair dan penulis Inggris abad ke 18. 
Peneliti demi peneliti kemudian menguatkan kata-kata Samuel Johnson tersebut dalam bukunya The History of Rasselas, Prince of Abissinia, kisah seorang pangeran yang mengembara untuk mencari rahasia hidup bahagia. Peneliti Marcia P. Jimenez dan rekan-rekannya menulis untuk International Journal of Environmental Research and Public Health bahwa terdapat banyak literatur empiris mengenai hubungan antara paparan terhadap alam dan kesehatan. 

Apa yang membuat saya berhenti sejenak pada bagian ini adalah, lalu bagaimana jika alam rusak? Akan pergi kemanakah manusia untuk menyembuhkan dirinya? Pikiran makin tergelitik ketika dipaparkan bahwa jika kita bergaya hidup seperti orang Amerika maka dibutuhkan 5 buah bumi untuk mendukung gaya hidup itu, dan jika mengikuti kebiasaan orang Australia dan Jerman, butuh 4 dan 3 bumi. Padahal bumi cuma satu. Dan ternyata manusia sudah menggunakan lebih banyak sumberdaya dan jasa ekosistem daripada apa yang dapat disediakan oleh alamnya.

Sudah berapa tahun manusia yang tinggal di bumi menjalankan roda perekonomian dengan BAU (bussiness as usual) dengan konsep, ambil-pakai-buang? Sehingga perubahan iklim tidak hanya terjadi secara alami, tetapi juga terjadi perubahan iklim antropogenik, yaitu yang diperparah oleh ulah manusia.

Di bagian 1 ini, kita juga dapat membaca sembilan batasan yang merupakan batasan atau garis aman agar bumi tetap nyaman dihuni, dan ternyata di tahun 2009 saja kita sudah melampaui tiga batasan disebabkan oleh aktivitas manusia. 

Manusia memang cerdas, namun alam lebih cerdas, bagaimanapun alam atau bumi akan berupaya dengan sendirinya untuk kembali kepada titik keseimbangan. Disinggung pula mengenai tragedi kepemilikan bersama yang menjadi masalah mendasar pertama persoalan lingkungan yang disebabkan oleh manusia.

Masalah mendasar pertama adalah tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the commons) yang pertama kali diangkat pada 1968 di jurnal ilmiah Science oleh Garret Hardin, profesor biologi di University of California, Santa Barbara, Amerika Serikat. la menjelaskan situasi ketika sekelompok orang memiliki akses ke sumber daya bersama, yang kadang-kadang gratis. Masing- masing kemudian bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, berusaha memperoleh manfaat sebesar-besarnya sampai sumber daya tersebut habis atau tidak ada lagi faedah yang dapat diperoleh. Dampak tragedi kepemilikan bersama terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, seperti pembalakan liar, pencemaran udara, penggunaan bahan bakar fosil berlebihan, pemanfaatan air tanah tak terkira, kemacetan di jalan raya dan sampah yang berserakan.

Dari sini, makin terbayang nasib bumi kita (khususnya nusantara) beberapa tahun ke depan? Lalu mau bagaimana?

Yang juga cukup menarik dari Bab 1 adalah buah pemikiran dan karya puisi "Namaku Bumi." yang ditulis Ibu Amanda pda tahun 2013. Refleksinya adalah, apakah rangkaian kata-kata yang indah dapat menjadi penggerak perubahan perilaku manusia terhadap lingkungan dan dapat menjaga bumi dengan lebih baik? 

Tanpa berpaling, saya langsung melanjutkan bacaan ke Bab 2.  Di bagian ini pembaca diajak untuk menyadari bahwa niat saja tidaklah cukup. Untuk menjadi seorang pegiat harmoni bumi, seseorang membutuhkan motivasi sebagai bahan bakar, dan juga kolaborasi atau kerja bersama. Di bagian ini, pembaca akan disuguhkan dengan berbagai pemikiran dari pegiat harmoni bumi lainnya yang memiliki frekuensi yang selaras dengan misi penulis. 

Di Bab 3, secara lebih spesifik ini merupakan landasan bagi seseorang yang ingin menyusun peta jalan menjadi pegiat harmoni bumi, yaitu pendidikan. Proses belajar akan mengasah kemamuan dan kekritisan berpikir seseorang yang ingin menapaki peran sebagai penjaga lingkungan. Tanpa pendidikan, seseorang akan tidak akan memiliki akar yang kuat untuk menahan terpaan badai permasalahan. Selain latar belakang pendidikan yang ditekuni, selalu sadar akan benang merah dan keterpanggilan diri terhadap isu-isu lingkungan juga menjadi modal penguat konsistensi beliau. 

Kita mungkin akan melewati ulasan Bab 4 hingga 9, serta Bab 11 untuk memberikan ruang bagi rasa penasaran pembaca mengenai ulasan buku ini. Selain itu, saya ingin lebih banyak menyoroti Bab 10 karena mengangkat tema yang menarik : Mengangkat Citra Kuliner Lokal. 

Selain bergiat di bidang lingkungan hidup, perubahan iklim, dan keberlanjutan, penulis juga mulai aktif di kegiatan pertanian, pangan, kuliner dan budaya Nusantara sejak 2009. Gerakan yang dilakukannya ini didorong oleh perasaan untuk selalu mengenang almarhum anak sulung, Omar Taraki Niode, yang menyelesaikan pendidikan sarjana dan pascasarjana di Department of Food Science and Technology, College of Agriculture and Environmental Sciences, University of California Davis, Amerika Serikat.

Menurut penulis, sejatinya, makanan merupakan ekspresi identitas budaya dan kebanggaan lokal, serta memiliki peran besar dalam pelestarian lingkungan.

Pemikiran tersebut tentu makin menggelitik rasa ingin tahu saya, bayangkan apa yang terjadi jika negeri ini dikepung oleh makanan asing, maka menu-menu kearifan lokal pun mulai ditinggalkan. Jika satu menu mulai dilupakan, bisa jadi bahan pangan yang ditanam di bumi nusantara pun akan mulai dilupakan. Bisa jadi inilah awal mulanya kita mulai kehilangan keanekaragaman hayati?

Di Bab 10, pembaca akan diajak banyak menyusuri kuliner khas Gorontalo dan bagaimana kaitan antara kuliner dengan pariwisata. 

Wisata kuliner diyakini mampu menjadi unsur utama yang berfungsi sebagai perekat terhadap rangkaian berwisata, mengingat kepariwisataan merupakan sektor yang multi-atribut dan prospektif sebagai pintu gerbang sekaligus citra pariwisata Indonesia. 

Terakit hal tersebut, di tahun 2021 dalam rangka merayakan World Food Travel Day, yang jatuh tiap tanggal 18 April, Omar Niode Foundation bersama Climate Reality Indonesia mencoba mengangkat keunikan ekosistem alam, budaya dan potensi wisata kuliner dari kawasan Wallacea. Kawasan yang meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara dan pulau-pulau kecil sekitarnya itu, selain kaya akan ekosistem biologis juga punya daya tarik dari sisi kuliner. 

Meskipun makanan di Kawasan Wallacea beraneka macam, tetap ada persamaan karena kuliner di satu daerah merupakan hasil akulturasi penduduk dan pendatang. 

Pembaca juga akan diajak mengenal kampanye Good Food For All yang bertujuan mendorong pemikiran dan tindakan seputar pangan sebagai solusi untuk mendorong kemakmuran bagi manusia dan Bumi. 

Karnpanye ini tidak preskriptif, melainkan mendorong pertanyaan bagi semua orang di berbagai lokasi: "Apa artinya makanan yang baik bagi saya? Menindaklanjuti berbagai nuansa di atas, maka dalam rangka United Nations Sustainable Gastronomy Day - Hari Gastronomi Berkelanjutan PBB yang diperingati setiap 18 Juni, beberapa organisasi nirlaba, yaitu Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia, Climate Reality Indonesia, dan Omar Niode Foundation mengumpulkan pendapat dari berbagai pemerhati dan pelaku usaha di bidang pertanian, pangan dan kuliner di Indonesia. 

Sebuah acara komunitas global yang cukup sering diadakan oleh Omar Niode Foundation adalah Terra Madre Day, yang diselenggarakan setiap tahun tanggal 10 Desember oleh Slow Food, gerakan global yang terdiri dari kelompok dan aktivis lokal yang disatukan oleh tujuan bersama dalam memastikan setiap orang memiliki akses terhadap pangan yang baik, bersih, dan adil. 

Didirikan di Italia pada tahun 1986 untuk menandingi gurita fast food, Slow Food kini aktif di lebih dari 160 negara. Visinya membayangkan sebuah dunia tempat setiap orang dapat mengonsumsi makanan yang baik bagi mereka, baik bagi orang yang menanamnya, dan baik bagi planet ini. Sedangkan misinya memupuk jaringan komunitas dan aktivis lokal di seluruh dunia yang membela keanekaragaman budaya dan biologi, mempromosikan pendidikan pangan dan memengaruhi kebijakan di sektor publik dan swasta. 

Terra Madre Day bertujuan merayakan keanekaragaman pangan, tradisi kuliner, serta cara-cara berkelanjutan dalam produksi makanan. Hari peringatan itu merupakan kesempatan bagi komunitas lokal di seluruh dunia untuk menunjukkan cara mereka mendukung dan mempertahankan model pangan yang baik, bersih, dan adil. Kegiatan yang diadakan bervariasi, mulai dari makan malam komunitas, pasar petani, diskusi panel, hingga lokakarya tentang praktik pertanian berkelanjutan dan keanekaragaman kuliner. 

Membaca lembar dem lembar buku ini membuat saya makin paham betapa kayanya bumi ini, betapa beragamnya alam ini, dan apakah kita hanya akan duduk diam di tempat tinggal yang telah menaungi puluhan generasi dengan pepohonan, buah-buahan, hasil laut, dan tanah tempat berpijak dan langit yang menaungi?

Sekali lagi, jika bumi mulai rusak, maka kita manusia pun sejatinya mulai 'rusak'. Mari kita mulai bersama-sama perjalanan diri dari ego menuju eco (conciousness). 


No comments

Powered by Blogger.