Antara Oppenheimer, Barbie, dan Generational Trauma
Setelah sadar tertipu ekspektasi nonton Barbie bakal menemukan adegan seperti saat filmnya diputar di televisi, saya langsung dibuat merenung. Tersadar ada benang merah antara Oppenheimer, Barbie, dan Generational Trauma.
Film Barbie jelas bukan untuk konsumsi anak-anak, bahkan anak remaja 13 tahun ke atas pun menurut saya bakal masih bingung sih, buat mencerna film ini.
Ada banyak bagian yang menghibur, sekaligus menjadi gerbang pembuka bagi yang mau mikir lebih dalam. Beberapa kali, saya menarik ujung bibir, tapi di ujung hati juga seperti ada yang ketarik-tarik.
Yang paling terasa adalah mulai tersadarnya saya kalau selama ini ada sisi gelap dari konsep 'toxic parents' terutama jika konsep itu ditujukan buat seorang ibu.
Menonton film Barbie, dari sudut pandang saya sebagai seorang ibu, yang juga memiliki ibu dan anak perempuan membuat saya berpikir bahwa luka pengasuhan itu benar diwariskan, tetapi meskipun diwariskan, secara pribadi kita punya tanggung jawab untuk memutuskan rantai luka pengasuhan tersebut.
Karena jika tidak, inilah yang terjadi saat ini : kita tinggal di dunia di mana sesama perempuan berhasrat saling menjatuhkan.
Tall Poppy Syndrome ; di mana perempuan yang terlihat paling menonjol di taman bunga akan dipotong (dijatuhkan).
Begitu sulit menjadi seorang wanita di tengah kehidupan yang sementara ini masih bertopeng pemberdayaan.
Alih-alih saling memberdayakan, banyak dari kita yang masih berada di zona memperdaya sesama. Kalau mau dikupas dari konten-konten yang bertebaran di media sosial rasanya tidak cukup sehari untuk membahasnya.
"It is literally impossible to be a woman."
"You are very beautiful and very smart... and it breaks my soul that you think you're not good enough, like we're always supposed to be extraordinary, but somehow we're always doing it wrong."
Kamu sangat cantik dan sangat pintar... dan itu menghancurkan jiwaku karena kamu masih berpikir kamu belum cukup baik, seperti halnya kita selalu diminta untuk menjadi luar biasa, tapi entah kenapa kita selalu dianggap melakukannya dengan cara yang salah.
Pernah merasa seperti itu? Pernah merasa tidak cukup baik menjadi seorang ibu karena kita memilih bekerja di luar rumah, pernah merasa diri ini menyedihkan karena memilih di rumah saja.
Kenyataannya, di tempat seperti itulah para perempuan saat ini tinggal.
Film Barbie banyak membahas sisi feminis dan norma sosial yang membentuk persepsi kita tentang dunia, namun saya ingin membahas dari sudut pandang luka pengasuhan lebih dulu.
Berapa banyak dari kita perempuan yang masih berada di zona victim mentality, terus menyalahkan luka yang dimilikinya sebagai 'mother wounds'.
Alih-alih mengambil tanggung jawab untuk menjadi pemutus rantai generational trauma, kita memilih untuk terus menyalahkan orang lain.
Film Barbie menyadarkan saya bahwa seorang ibu pernah menjadi gadis kecil seperti halnya kita. Dan di masa ia menjadi seorang anak, ia pun pernah mendapatkan luka pengasuhan, yang bahkan tak sempat mereka sembuhkan.
Bisa jadi karena mereka tidak tahu, bahkan telah menormalisasi luka tersebut. Atau mereka belum mendapatkan ilmunya, tidak memiliki akses untuk itu, atau bahkan tidak ada waktu untuk memikirkan semua itu.
Tetapi meski begitu mereka...
We mothers stand still so our daughters can look back to see how far they have come.
Di titik ini, tiba-tiba semua konsep 'toxic parents' yang mungkin pernah terlintas di benak dan pernah secara tidak sengaja saya lekatkan pada sosok ibu, runtuh. Saya menangis karena merasa seperti mengkhianati ibu sendiri.
Tidak pernah sebelumnya saya memikirkan bagaimana sosok kuat itu ketika masih menjadi seorang gadis kecil.
Saya kemudian membayangkan masa kanak-kanaknya. Bagaimana lingkungannya saat itu. Damn, saya ingat bahwa beliau pernah bercerita bahwa masa kecilnya berada di situasi konflik G30S. Istighfar.
Kecil luka saya jika dibandingkan dengan luka-lukanya yang tidak pernah ia ungkapkan, sementara sosoknya kini masih tegar menemani setiap masa ketika saya menjadi seorang ibu. Sujud ibu, di kakimu. Istighfar lagi.
Ketika saya terus menyalahkan orang lain, dan tidak berupaya untuk melakukan jalan menuju spiritual awakening atau healing untuk diri sendiri, maka selamanya luka itu akan terus diwariskan, kepada anak perempuan saya, dan anak perempuan saya kepada anak-anaknya. Seterusnya. Dan itulah yang akan membentuk dunia ini.
Lalu apa hubungannya luka pengasuhan, film Barbie dengan Oppenheimer?
Dari Oppenheimer, saya jadi ngulik lagi nih, hukum entanglement-nya Einstein dan "spooky at a distance."
Penelitian Hukum Entanglement terjadi di skala Proton dan Neutron. Hal menarik ditemukan oleh Einstein bahwa sebanyak apapun sebuah materi dipecah menjadi proton dan neutron yang berbentuk bola-bola kecil, jika satu saja bola tersebut diberikan perlakuan maka secara ajaib bola-bola kecil lainnya juga akan merasakan hal yang sama pula.
Misalnya gini, satu bola kecil hasil pecahan proton tersebut diberikan sejumlah kalor tertentu yang menyebabkan suhunya meningkat. Ketika suhu si bola tersebut meningkat maka secara ajaib tanpa alasan yang jelas bola-bola lainnya yang berasal dari materi yang sama juga mengalami panas yang sama tanpa harus diberikan panas secara langsung.
Hal itulah yang disebut Einstein sebagai "Spooky at a distance".
Kenapa bisa begitu? Hal itu terjadi hanya jika bola-bola tersebut berasal dari materi yang sama.
Einstein kemudian meneliti dalam skala yang lebih tinggi yaitu menggunakan 2 ekor anjing, yaitu ibu dan anak (anak berasal dari ibu).
Keduanya diletakan di 2 kota yang berjauhan jaraknya. Penelitian ini dilakukan dengan cara memasang heart detector (pendeteksi detak jantung) kepada kedua hewan tersebut.
Kemudian anak anjing tersebut diberikan perlakuan khusus untuk membuat dia ketakutan.
Ketika detak jantung si anak anjing tersebut berdetak kencang di saat yang sama ibu dari anak anjing tersebut yang juga dipasangkan alat pendeteksi detak jantung tanpa alasan yang jelas ikut berdetak juga.
Hal ini semakin memperkuat bahwa ketika kita berikan perlakuan tertentu kepada turunan dari hal yang satu maka turunan lainnya dan induknya akan ikut merasakannya pula
Nah, udah mulai ngeh kenapa ada yang namanya generational trauma? Bahwa luka itu juga terekam di dalam DNA?
Kira-kira kalau kita sadar dan ingin menyembuhkan diri sendiri, siapa yang akan ikut tersembuhkan dan tercerahkan?
Pertama kita, kemudian ibu kita, nenek kita, dan leluhur kita, yang terbuat dari material yang sama dengan kita.
Tambah merinding nggak, kalau kira-kira hal itu sudah dituliskan juga di dalam Al-Qur'an?
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.." (QS: Al Isra 7)
Wallahu A'lam Bishawab.
No comments