Menguak Pesona Mitos dan Fakta Candi Gedong Songo
Asap putih mengepul, membumbung tinggi ke langit lereng Gunung Ungaran. Angin yang berhembus tiba-tiba terasa menusuk kulit, membawa aroma belerang yang juga menusuk penciuman. Aku merasa ada perubahan drastis di tempat ini. Dibandingkan beberapa saat lalu, langit masih tampak biru, kontras dengan pucuk-pucuk pinus nan hijau, kini langit menggelap, dengan kabut bergelayut, membuat pucuk-pucuk pinus tampak menghitam.
Dari kejauhan aku mendengar suara bergemuruh, seperti ada tungku dengan panci raksasa yang suara air mendidihnya meletup-letup. Tanah tempatku berpijak tiba-tiba terasa hangat dan bergetar.
"Wat is er aan de hand, waarom beweegt de grond?" Pekik Pak Augustijn. Kutangkap kepanikan dalam nada suaranya yang bertanya mengapa tanah di bawahnya bergerak-gerak.
Mata Pak Augustijn terbelalak, menampakkan bola mata birunya yang ikut menggelap saat kepalanya mendongak melihat sosok bayangan hitam besar yang muncul dari balik lereng gunung.
"Tidak mungkin." Pekikku, sambil mengusap-usap mata.
Kualihkan pandangan untuk melihat ke sekeliling. Lapangan di area bawah candi terlihat sepi, tidak ada kuda-kuda dan para kusir yang beristirahat, warung-warung tutup, serta tidak tampak satu pun pengunjung kecuali aku dan Pak Augustijn.
Kami seperti berada di dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Kulihat Pak Augustjin terpaku di depan candi, matanya tertuju ke arah lereng gunung. Awalnya ia ketakutan, namun kulihat kini bahunya berguncang-guncang karena tertawa terbahak-bahak.
"Geweldig! videokan ini, kita berhasil!" Teriaknya kepadaku.
Rasa bersalah menyergapku. Aku tak berani menatap sosok bayangan hitam besar itu. Kucari ransel di pundak untuk mengambil kamera, namun suara gemuruh di bawah tanah membuyarkan konsentrasiku.
"Haast je!" katanya sambil menguncang bahuku. Aroma minuman beralkohol menguar dari mulutnya. "Haast je! cepat ambil video!" Bentaknya lagi sambil terus mengguncang bahuku, namun tak kutemukan ranselku.
Guncangan di bahuku makin keras, sementara sosok bayangan raksasa itu bergerak makin mendekat. Jantungku berdetak makin kencang, udara terasa makin tipis sehingga aku tak tahan lagi untuk tidak berteriak.
"Astagfirulllah Kak, kenapa teriak-teriak?" tanya saya pada Si Sulung yang langsung terduduk dari tidurnya setelah saya guncang bahunya. Ia tertidur dengan dada yang naik turun seperti orang sesak napas, bulir keringat membasahi dahinya. Di samping tempat tidurnya, saya melihat laptop yang masih menyala.
"Aa-aku mimpi tentang Dasamuka, Bun. Tadi, aku lagi nulis cerita terus ketiduran." jawabnya sambil terengah-engah. Raut wajahnya berubah lega saat menyadari yang dialaminya cuma mimpi.
"Siapa itu?" tanya saya seraya mengernyitkan dahi.
"Itu lho, sosok raksasa yang mitosnya menghuni lereng Gunung Ungaran. Aku sedang riset untuk menulis cerita. Lokasi ceritanya di Candi Gedong Songo. Aku nemu cerita tentang pantangan orang yang berkunjung ke area Gunung Ungaran, termasuk Gedong Songo.
Aku jadi pengin jalan-jalan ke sana deh, Bun, mau cari tahu lebih banyak tentang mitos dan legenda yang ada di Candi Gedong Songo.
Apa benar kalau ada orang yang berkunjung ke sana dalam keadaan mabuk atau membawa minuman keras, Dasamuka akan terbangun karena mencium aroma tuak? Konon saat Dasamuka terbangun, tanah di sekitarnya bakal bergetar seperti sedang terjadi gempa?"
Saya mau menjawab bahwa pasti ada fenomena alam yang mendasarinya, tapi karena tidak ingin mematahkan semangatnya untuk mencari tahu tentang sejarah Candi Gedong Songo dan juga Gunung Ungaran, saya langsung setuju untuk mengajaknya berkunjung ke Candi Gedong Songo.
"Coba kamu kumpulkan mitos dan legenda apa saja tentang Candi Gedong Songo dan Gunung Ungaran, akhir pekan besok kita cari tahu faktanya." jawab saya.
Tidak apa-apa jika awalnya seseorang tertarik untuk berkunjung ke suatu tempat karena ingin menguak misteri dari mitos atau legendanya, toh nanti hal tersebut akan menjadi gerbang pembuka bagi rasa ingin tahunya tentang sejarah, asal-usul sebuah budaya, yang pada akhirnya bisa membuahkan kearifan.
Perjalanan Menguak Pesona Mitos dan Fakta Candi Gedong Songo
Cara Untuk Sampai ke Candi Godong Songo.
Area masuk menuju kawasan Candi Gedong Songo |
Pukul setengah tujuh pagi kami bertolak dari Kota Semarang, tepatnya dari daerah Semarang Utara untuk menuju ke daerah Ungaran.
Ungaran menjadi tempat favorit kami untuk menghabiskan akhir pekan. Alasannya, selain karena banyaknya objek wisata alam yang menjadi 'bucket list' yang ingin kami jelajahi, juga karena udaranya yang relatif lebih sejuk dibandingkan udara di daerah tempat tinggal kami.
Dalam sebuah literatur, Ungaran yang oleh bangsa kolonial disebut sebagai Oonarang merupakan sebuah kota kecil yang sejak dulu sudah dikenal masyarakat Eropa sebagai kawasan yang menyenangkan dan sangat sehat udaranya.
Untuk bisa sampai ke Ungaran, yang letaknya di selatan Kota Semarang, ada banyak pilihan moda transportasi yang bisa digunakan. Jika melewati jalan raya biasa dapat menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum, seperti Bus Trans Jateng koridor I yang memiliki rute dari Tawang sampai ke Bawen.
Dari Kota Semarang menuju Kota Ungaran, juga terdapat jalan tol yang bisa digunakan untuk memperpendek waktu tempuh. Siapkan bujet sekitar 15.000 untuk membayar tarif tolnya.
Sesampainya di Ungaran kami mampir dulu ke salah satu warung makan untuk membeli bekal. Pecel gendar, dan nasi bungkus dengan lauk lele goreng, tumisan sayur serta gudeg akan menjadi bahan bakar kami menjelajahi lereng Gunung Ungaran tempat Candi Gedong Songo berada.
Dari Ungaran perjalanan kami lanjutkan ke arah kawasan objek wisata Bandungan sampai melewati alun-alun Bandungan. Selanjutnya ambil jalan ke arah Sumowono sampai bertemu gerbang masuk menuju kawasan Candi Gedong Songo.
Kontur jalanan menuju ke kawasan wisata Candi Gedong Songo terasa makin menanjak, begitu pula dengan suhu udaranya yang terasa makin dingin.
Sepanjang perjalanan menuju objek wisata Candi Gedong Songo, ada beberapa tempat wisata lainnya yang bisa ditemui, misalnya Taman Bunga Celosia.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam, kami sampai juga di area parkirnya. Petugas kemudian menagih tarif tiket parkir sebesar lima ribu rupiah.
Area parkir ini khusus disiapkan untuk kendaraan pribadi yang berukuran sedang, sementara untuk rombongan yang datang memakai bus dapat memarkirnya di area khusus yang berada di dekat gerbang jalan masuk menuju kawasan.
Baru saja keluar dari mobil, kami langsung disergap oleh udara dan angin yang cukup dingin. Suhu di lokasi berkisar antara 19-27 derajat celcius atau bisa saja lebih rendah tergantung musimnya. Karena kami berkunjung di Bulan Juli yang termasuk musim panas, maka suhu udara di pagi hari terasa lebih dingin.
Idealnya, untuk berwisata ke kawasan Candi Gedong Songo, bisa menggunakan pakaian yang sedikit tebal, namun tetap bisa menyerap keringat karena akan banyak melakukan aktivitas fisik. Bisa juga menggunakan jaket atau sweter tipis sebagai pelapis. Gunakan juga alas kaki yang nyaman digunakan untuk berjalan jauh.
Sebelum membeli tiket masuk, kami menikmati sarapan pecel gendar dan nasi bungkus terlebih dahulu di area parkir untuk mengisi tenaga. Setelahnya baru kami menuju loket. Pengunjung domestik dengan usia lima tahun ke atas dikenai tarif lima belas ribu rupiah di saat akhir pekan.
Tiket sudah di tangan, dan kami pun bersiap memulai perjalanan. Dari area loket terdapat bangunan yang berfungsi untuk pusat informasi turis, mushola, serta toilet. Kami mengajak anak-anak untuk 'setoran' terlebih dulu ke toilet agar perjalanan menjelajahi candi lebih nyaman.
Sambil menunggu anak-anak, saya memerhatikan penataan di area pintu masuk. Tampak deretan keran cuci tangan dan wastafel yang mengingatkan saya akan kebiasaan berkunjung ke tempat wisata di masa pandemi. Meski tidak banyak lagi pengunjung yang menggunakannya, namun kerannya masih berfungsi dengan baik.
Hal penting yang kami lakukan selanjutnya adalah membaca papan yang berisi peta petunjuk lokasi candi dan mem-briefing anak-anak soal aktivitas yang akan kami lakukan.
Pagi itu, sekitar pukul sembilan, kami berlima : saya, Pak Suami, Si Sulung yang sudah bersiap dengan kameranya, dan dua anak usia 8 dan 3 tahun telah siap untuk treking menjelajah hingga candi ke lima.
Tidak jauh dari pintu masuk di sisi kanan jalan, terdapat kios-kios yang menjajakan makanan dan minuman. Beberapa petugas tampak masih sibuk menyapu beberapa bagian jalan agar lebih nyaman dilalui pengunjung. Suasana pagi itu juga belum terlalu ramai, baru ada kira-kira lima rombongan termasuk kami yang sudah datang berkunjung.
Kontur jalanan menuju area candi tergolong menanjak, tetapi setiap pijakannya sudah bagus. Ada yang ditutupi paving, lempeng batuan atau beton, bahkan ada juga yang sudah dibuatkan tangga-tangga khusus. Kondisi jalanan tersebut menjadikan medan treking tergolong mudah dan bisa dilalui pengunjung berbagai usia.
Selain dengan berjalan kaki, ada juga pilihan untuk menunggangi kuda dari area bawah sampai ke area candi yang paling atas, dengan tarif mulai dari 50.000,- sampai 200.000,- tergantung jarak tempuh dan berat badan.
Tarif Berkuda |
Secara keseluruhan ada lima kelompok atau lima kompleks candi yang masih utuh dan bisa dilihat oleh pengunjung. Lokasi masing-masing candi terpencar, mulai dari komplek Candi Gedong I yang lokasinya paling dekat dengan pintu masuk di area bawah hingga Candi Gedong V yang letaknya di paling atas.
Peta Wisata Candi Gedong Songo |
Jarak dari satu candi ke candi yang lainnya kurang lebih berkisar antara 100-700 meter. Masing-masing candi berdiri di gundukan bukit yang berbeda-beda yang tersebar di lereng Gunung Ungaran.
Keindahan Perjalanan Menuju Candi Gedong Songo |
Sepanjang mata memandang, kami bisa melihat hamparan kebun bunga atau sayuran, pepohonan pinus dan pucuk-pucuk pohon menyeruak dari hutan yang menjadi bagian dari lanskap hijau lereng Gunung Ungaran.
"Untuk apa ya Bun, orang dulu membangun semua candi ini?" rasa takjub akan keindahan pemandangan di candi pertama memantik rasa ingin tahu Si Sulung.
Setelah kurang lebih sepuluh menit berjalan kaki, kami akhirnya sampai juga di komplek candi yang pertama. Sambil duduk-duduk, kami pun mengobrol soal asal-usul dan sejarah yang melatari keberadaan Candi Gedong Songo ini.
Sejarah Candi Gedong Songo
"Untuk memahami mengapa sebagian besar candi dibangun di atas lereng gunung atau perbukitan, kita harus ingat bahwa di masa lalu Nusantara kita ini mendapatkan banyak pengaruh dari agama Hindu.
Candi dalam konsep agama Hindu merupakan replika dari Mahameru atau tempat tinggalnya para dewa," jawab saya membuka percakapan tentang sejarah Candi Gedong Songo.
"Oh, jadi itu alasan mereka membangun tempat tinggal para dewa ini di dataran tinggi seperti Lereng Gunung Ungaran ini?" tanya Si Sulung memastikan.
"Ya, kurang lebih seperti itu, karena mereka meyakini dataran tinggi atau pegunungan adalah tempat yang suci dan dekat dengan para dewa. Pada tradisi Jawa khususnya, dan di Indonesia umumnya masyarakat beranggapan bahwa gunung adalah tempat yang suci.
Candi Gedong Songo juga memiliki karakter yang spesifik, yaitu sebuah perpaduan antara dua religi yang bersifat lokal dan global. Gunung adalah tempat persembahan kepada roh nenek moyang. Kepercayaan ini merupakan tradisi masyarakat lokal pra Hindu. Sedangkan gunung juga merupakan tempat tinggal dewa-dewa menurut tradisi Hindu yang pada saat itu sedang berkembang secara global mempengaruhi hampir separuh dunia.
Karena merupakan tempat yang suci maka dataran tinggi atau pegunungan dijadikan lokasi aktivitas religius. Hal itu juga didukung informasi dari prastasi-prastasi yang mengatakan bahwa tempat untuk kegiatan religius itu biasanya memiliki candi, bangunan suci, profan atau arca-arca lepasan."
"Terus, dari mana orang-orang tahu kalau Candi Gedong Songo ini juga peninggalan kebudayaan Hindu?"
Pertama, dilihat dari ciri-ciri arsitekturnya, Candi Gedong Songo dibuat semasa dengan Candi Dieng, yaitu sekitar abad 7 sampai 9 Masehi. Kedua, dilihat dari arca-arca yang ditemukan di Candi Gedong Songo, bentuknya sesuai dengan dewa-dewa dalam agama Hindu, ada Siwa, Ganesha."
"Menurut Bunda, atas perintah siapa candi ini dibangun?"
"Nah, bagian ini mungkin yang harus ditelusuri lebih lanjut karena secara pasti belum diketahui, hanya saja menurut literatur, Candi Gedong Songo ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Mataram Kuno yang dibangun sekitar abad ke-8 dan semasa dengan Wangsa Sanjaya.
Nanti coba kamu baca-baca lagi ya sejarah tentang Kerajaan Mataram Kuno dan Wangsa Sanjaya ini.
Yang menarik, coba deh, kamu perhatikan komplek candi ini dibangun secara berderet dari bawah sampai ke puncak perbukitan di lereng Gunung Ungaran.
Pasti ada maksud tertentu kenapa dibuat bertingkat seperti ini, apalagi bentuk candi di kompleks pertama ini juga relatif lebih sederhana, jadi terkesan ada semacam hierarki, makin ke atas kemungkinan candinya akan lebih megah, makin ke atas dianggap makin suci."
Candi pertama yang kami datangi di Kompleks Candi 1 memang hanya terdiri dari satu bangunan candi yang utuh, posisinya menghadap ke timur, bentuknya persegi panjang, tingginya sekitar 4-5 meter dan berdiri di atas batur atau kaki candi yang tingginya sekitar 1 meter.
Penampakan Candi ke-1, yoni, dan motif relief |
Di kaki candinya ada pahatan relief berbentuk sulur dan bunga padma. Sementara, bagian luar badan candi terlihat polos tanpa terlihat hiasan relief.
Ngomong-ngomong soal padma atau teratai, jadi ingat filosofi namanya yang berasal dari bagaimana cara bunga itu tumbuh. Dimulai dari kuncup di bawah air atau kolam yang keruh penuh lumpur dan tidak terkena sinar matahari, yang kemudian pada saat mekar dapat menggapai cahaya. Seolah ini menjadi lambang bagi perjalanan pencerahan spiritual.
Hal menarik lain yang ditemukan di Candi Gedong Songo 1 adalah ditemukannya yoni tanpa lingga. Lingga biasanya mewakili sosok Siwa yang memiliki energi penciptaan dan simbol organ maskulin, sementara yoni merupakan simbol bagi organ feminin.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju komplek candi yang kedua. Di perjalanan kami membahas bagaimana komplek candi ini akhirnya bisa ditemukan dan menjadi tempat wisata seperti sekarang ini.
Penemuan Candi Gedongsongo pertama kali dilaporkan oleh Loten pada tahun 1740. Kemudian pada tahun 1840 Thomas Stamford Raffles menyebut sebagai Candi Banyukuning. Dalam bukunya yang berjudul The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena pada saat itu baru ditemukan tujuh kelompok bangunan.
Penelitian lain juga dilakukan oleh beberapa ahli dari Belanda, antara lain Van Stein Callenfels (1908) dan Knebel (1911) yang kemudian menemukan dua candi lainnya, sehingga nama Gedong Pitoe diubah menjadi Gedong Songo. Gedong berasal dari kata 'bangunan' dan songo berarti 'sembilan'.
Pada tahun 1928-1929, dinas purbakala pada masa pemerintahan Belanda melakukan pemugaran pertama terhadap Candi Gedong I, sedangkan pemugaran kedua dilakukan pada kurun waktu 1972 hingga 1982 oleh pemerintah Indonesia.
Upaya pelestarian dalam bentuk pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan Candi Gedong Songo terus dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah bekerjasama dengan instansi serta lembaga terkait sampai sekarang.
"Pada saat pemugaran itu ditemukan apa saja ya, Bun? Bangsa Indonesia jadi nggak tahu dong ya, apa saja yang sudah digali oleh para arkeolog di masa pemugaran awal itu?"
Rupanya pemikiran kritis Si Sulung mulai terpantik oleh paparan cerita sejarah asal-usul Gedong Songo. "Ya, tapi beberapa dokumentasi seperti lukisan dan buku yang ditulis oleh Van Braam pada tahun 1825 tentang Gedong Songo tersimpan kok, di Museum Leiden, Belanda."
Sambil mengisi ulang paru-paru dengan udara pegunungan yang sejuk kami mengedarkan pandangan ke seluruh bagian perbukitan, hijaunya pucuk pinus dan pepohonan bisa jadi telah menjadi saksi berbagai peristiwa yang pernah terjadi di lereng Gunung Ungaran ini.
Kami sampai di Kompleks Candi kedua dengan napas yang lumayan terengah karena jarak ke candi kedua dari komplek candi pertama memang relatif lebih jauh. Anak-anak terlihat makin antusias ketika sampai di kompleks candi yang kedua. Kami membiarkan mereka bermain di sekitar candi, namun terus harus bisa mengikuti aturan yang ada.
Yang berbeda dengan kompleks candi pertama, di kompleks candi kedua terlihat adanya candi induk, dan ada candi kecil atau candi perwara. Di lokasi ini, rupanya anak-anak mulai tertarik untuk menjelajahi setiap bagian candi. Saya dan Si Sulung kembali duduk-duduk sambil memotret dan mengobrol.
"Menurut literatur, bangunan candi itu dibagi menjadi tiga, Kak. Bagian bawah atau alas candi itu menggambarkan alam kehidupan manusia, bagian tengahnya menggambarkan alam manusia yang terhubung dengan alam dewa, dan bagian puncaknya menggambarkan alam para dewa."
"Kayaknya nyambung dengan dugaan kalau penempatan candi-candi di perbukitan yang berundak-undak juga ada kaitannya dengan hierarki ya, Bund?" Tanyanya.
"Sepertinya begitu, pasalnya makin ke atas bentuk candinya juga makin terlihat lebih megah, bahkan ada candi pendamping atau perwaranya. Yuk, kita buktikan dengan melihat candi berikutnya."
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju candi berikutnya, namun di tengah perjalanan kami tertarik dengan keberadaan situs air suci yang berada di jalur berkuda antara Candi 1 dan Candi 2 yang sempat kami lewati. Kami pun memutuskan untuk melihat area tersebut lebih dekat.
Papan petunjuk, bangunan, dan ceruk di dinding seperti petilasan |
Sayangnya, tidak ada papan informasi tertulis mengenai tempat tersebut. Saat kami berjalan menuju ke area bawah, suasana di sana sangat sepi dan seperti terbengkalai, jadi kami tidak melajutkan perjalanan ke sana. Dari kejauhan kami juga seperti melihat sebuah lubang kecil di dinding tebing yang tampak seperti gua untuk petilasan.
Dari sana kami sampai ke komplek candi ketiga. Terdapat tiga bangunan yang berjajar, dua menghadap ke timur dan satu bangunan menghadap ke barat. Aura megah dari candi di komplek ini begitu terasa dibandingkan dua candi sebelumnya. Mungkin karena bangunannya masih utuh dan juga terdapat candi perwara.
Di candi ketiga ini, kita bisa melihat hiasan stupa di atapnya dan ada arca yang berbentuk kepala gajah.
Menurut kami komplek candi ketiga ini terlihat paling fotogenik untuk dipotret, apalagi dengan latar belakang lereng gunung yang tampak hijau berselimutkan kabut di puncaknya.
Melihat ini kami sama-sama sepakat bahwa pesona Candi Gedong Songo sangat cantik dan tidak kalah dengan pesona wisata di mancanegara.
Terbayang bagaimana kepandaian nenek moyang kita di masa lalu dalam menata sebuah bangunan agar harmonis dengan lanskap alam. Karya Tuhan dan karya buatan manusia berdampingan begitu indahnya tanpa saling berebut perhatian.
Dari komplek candi ketiga menuju ke kompleks candi keempat, perhatian kami teralihkan oleh aroma menusuk hidung yang menguar di udara. Pandangan kami juga tersedot ke arah lembah yang tampak dipenuhi oleh asap putih yang membumbung ke langit.
Rupanya kami menemukan penanda bahwa di area tersebut terdapat pemandian air panas. Anak-anak kembali antusias mendengar adanya sumber pemandian air panas alami.
"Aku mau lihat kolamnya, aku mau berenang di sana," kata mereka berebut perhatian dan ingin segera sampai ke lokasi.
Jalan menuju ke sumber air panas berkontur menurun, jadi kita perlu berhati-hati saat turun ke sana. Apalagi di sisi jalan dibatasi tebing yang dindingnya berlumut.
Setelah sampai di lokasi kami disuguhi pemandangan yang sangat berbeda dari sebelumnya, seolah-olah kami terlempar ke suatu tempat yang asing.
Aroma belerang semakin menusuk hidung, dan uap hangat menerpa kulit saat angin berhembus. Anak-anak mulai bertanya-tanya sebenarnya ini tempat apa? Mereka juga menutup hidung dengan kerah kausnya karena merasakan aroma yang menyengat.
Saya menunjukkan kepada anak-anak bangunan yang terdiri dari kolam pemandian air hangat dan juga kamar bilasnya. Kolam pemandian itu bisa digunakan dengan membayar tiket masuk sebesar lima ribu rupiah. Meski anak-anak tertarik untuk berendam, namun kami memutuskan untuk mengajak mereka menuntaskan jelajah candi lebih dahulu.
Dengan hati-hati, saya mengajak anak-anak untuk melihat salah satu tempat yang memiliki sumber air dan juga menyemburkan uap. Di beberapa bagian terdapat dinding atau cekungan yang berlubang, isinya air atau endapan belerang berwarna kuning atau putih.
Area Sumber Mata Air Panas |
“Kalau ada sumber air hangat seperti ini, apa bisa dibilang Gunung Ungaran itu adalah gunung berapi, Bun?” tanya Si Sulung.
"Kalau sepengetahuan Bunda sih, Gunung Ungaran ini tipe gunung stratovolcano tetapi sudah tidak aktif lagi."
"Lho, kalau gunung berapinya sudah lama tidak ada aktivitas vulkanik, kok sekarang ada sumber air panas yang menjadi ciri kalau gunung itu masih memiliki aktivitas vulkanik yang aktif? Tanyanya lagi.
Apalagi di daerah sekitar juga ada sumber mata air panas dan kolam lumpur yang lokasinya tersebar di Gedong Songo, Nglimut-Limbangan sampai di Ungaran Timur." Tambahnya.
“Iya ya, menarik juga meskipun tidak ada catatan tentang letusan Gunung Ungaran selama ratusan tahun, tapi bisa jadi memang masih ada aktivitas vulkanik di dalamnya,” balas saya.
Di benak saya berkelindan jalinan cerita antara mitos dan fakta.
Secara mitos bisa jadi masyarakat sekitar memang memegang teguh pantangan yang bakal membangunkan Dasamuka untuk menyemburkan lava panasnya, secara faktual bisa jadi memang ada penjelasan ilmiah tentang mengapa Gunung Ungaran tetap tertidur meski masih ada aktivitas vulkanik di dalamnya.
"Melihat fenomena sumber air panas ini aku makin bisa menghubungkan mitos tentang Dasamuka, raksasa yang dikubur di lereng Gunung Ungaran dengan aktivitas vulkanik yang terjadi, Bun." Ujar Si Sulung.
“Iya, coba nanti kamu ceritakan setelah kita selesai menjelajahi semua candi ya,” balas saya sambil mengajak anak-anak meninggalkan area sumber mata air panas tersebut.
Dari lokasi sumber mata air panas kami melanjutkan perjalanan menuju komplek candi keempat.
Di sepanjang jalan yang menanjak kami melihat ada pola yang khas dari tumbuhan yang ada di sana. Di beberapa sisi terdapat tanaman kopi yang tumbuh di pinggiran tebing, lalu ada banyak pohon kantil atau cempaka putih yang masih menguncup kelopaknya sehingga tampak seperti buah-buah kecil. Terbayang jika kelak bunganya sudah bermekaran maka aroma wangi akan semerbak tercium di udara pegunungan yang dingin.
Selain flora khas terdapat juga kebun garapan yang ditanami bunga mawar dan tanaman cabe serta daun bawang.
Dalam perjalanan menuju ke candi keempat kami berpapasan dengan beberapa ekor kera yang sedang berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya. Sempat merasa takut juga para kera itu akan turun dan menghampiri kami, tapi untungnya hal itu tidak terjadi.
Selain memiliki daya pikat berupa bangunan candi dan bentang alamnya rupanya area Wisata Candi Gedong Songo ini juga masih menyimpan beragam flora dan fauna yang beragam.
Sesampainya di kompleks candi keempat anak-anak mulai mengeluh kehausan dan lapar. Kami pun memutuskan untuk beristirahat di pelataran candi keempat dan meminta Si Sulung untuk membeli air minum dan makanan ringan di area lapangan yang ada di bawahnya.
Ketika sedang beristirahat di pelataran kompleks candi yang keempat, saya merasakan aura yang terasa magis jika dibandingkan dengan ketiga kompleks lainnya.
Di sana terdapat satu candi yang masih utuh dan dikelilingi oleh reruntuhan. Tidak jauh dari bangunan candi yang pertama terdapat bangunan candi lainnya yang seolah berada di kompleks lainnya, tetapi sebenarnya masih dalam satu kesatuan.
Lokasi candi keempat ini terbilang paling dekat atau berbatasan dengan hutan sehingga terlihat paling tertutup. Mungkin ini yang membuat areanya terasa lebih magis.
Kawasan Candi ke-4 yang terasa magis |
Selesai berisirahat dan menghilangkan rasa haus dengan meneguk air mineral kami melanjutkan perjalanan menuju kompleks candi yang terakhir.
Untuk sampai di sana kami harus menapaki anak tangga yang lumayan banyak.
Lokasi kompleks candi kelima memang berada paling tinggi. Dari candi terakhir kami bisa melihat hampir seluruh lanskap perbukitan, bahkan dari kompleks tersebut kami bisa melihat hamparan Rawa Pening yang terbentang dengan cantik.
Area kompleks candi kelima cukup besar, sayangnya hanya terdapat satu bangunan candi yang utuh dan dikelilingi dengan beberapa reruntuhan.
Yang membuatnya menarik adalah latar belakang candi yang diwarnai lukisan perbukitan lereng Gunung Ungaran, yang dari kejauhan tampak menyembul salah satu puncaknya.
Rasa letih membuat kami tidak terlalu banyak melihat-lihat relief yang ada pada candi, kami lebih banyak duduk terdiam sambil menikmati keindahan latar belakang pemandangan.
Akhirnya sampai juga di Candi ke-5 |
Begitu cantik lukisanNya, membungkus perjalanan kami dalam kebersyukuran karena telah diberikan kesempatan untuk menyusuri jejak peradaban Nusantara.
Setelah rasa lelah hilang, dan puas mengambil foto-foto, kami pun memutuskan untuk menyusuri jalan pulang. Dalam perjalanan, kami kembali membahas kisah-kisah mitos dan misteri yang membalut kawasan ini.
Mitos dan Legenda di Kawasan Candi Gedong Songo
"Bun, ayo kita bahas tentang mitos apa saja yang pernah aku dengar tentang Candi Gedong Songo dan Gunung Ungaran. Ingat kan, waktu itu aku pernah mimpi tentang Dasamuka yang ngamuk karena ada pengunjung datang ke Gedong Songo dalam keadaan mabuk?"
"Iya, itu kan yang jadi salah satu alasan kita jalan-jalan ke sini. Cerita lengkapnya gimana?" Balas saya.
"Konon Gunung Ungaran, yang di lerengnya terdapat Candi Gedong Songo ini merupakan gunung yang digunakan Hanoman untuk menimbun Dasamuka dalam perang besar memperebutkan Dewi Sinta.
Dalam kisah pewayangan Ramayana, Dasamuka atau Rahwana menculik Dewi Sinta dari sisi Rama, suaminya sehingga terjadi perang besar Dasamuka dengan bala tentara raksasanya melawan Rama yang dibantu pasukan kera pimpinan Hanoman.
Di perang tersebut, Dasamuka yang terlalu sakti tidak mempan dihujam senjata oleh Rama. Melihat itu, Hanoman lalu mengangkat sebuah gunung untuk menimbun tubuh Dasamuka, jadilah ia tertimbun hidup-hidup oleh Gunung Ungaran ini.
Masyarakat setempat percaya, Dasamuka yang tertimbun hidup-hidup di dasar Gunung Ungaran setiap hari mengeluarkan rintihan berupa suara menggelegak yang sebenarnya berasal dari sumber air panas di lereng gunung.
Masyarakat setempat juga percaya ada pantangan saat berkunjung ke Gunung Ungaran, yaitu tidak boleh membawa minuman keras apalagi mabuk-mabukan karena Dasamuka sangat suka dengan tuak, dan aromanya bakal membangunkan Dasamuka dari tidurnya.
Kalau Dasamuka terbangun, tanah di sekitarnya bakal bergetar seperti terjadi gempa."
"Menarik sekali ceritanya. Pantas tadi kata penjaga, sebenarnya memang ada patung Hanoman di dekat area candi ketiga yang lokasinya memang tersembunyi. Tapi kita nggak ke sana.
Menurutmu fakta apa yang bisa kamu tarik dari cerita mitos itu, setelah kita jalan-jalan sejauh ini?" Tanya saya.
"Menurutku, mitos ini ada untuk mengajari bahwa sejatinya masyarakat sekitar harus selalu berpikir jernih atau ‘tidak mabuk’ dan mau menjaga keseimbangan alam di daerah sekitar Gunung Ungaran.
Memang benar Gunung Ungaran ini dianggap sebagai gunung berapi tidak aktif, tetapi potensi-potensi bencana bisa saja akan muncul jika ada perubahan drastis yang dilakukan kepada bentang alam di sana. Misalnya jika ada eksplotiasi besar-besaran terhadap lingkungan."
"Wah keren banget kesimpulannya, Kak. Lalu mitos apalagi yang kamu tahu?"
"Ada juga yang mengatakan kalau Candi Gedong Songo merupakan tempat semedinya Ratu Shima.
Cerita legenda Ratu Shima ini dikaitkan dengan keberadaan kerajaan yang bernama Kalinga di Kota Keling, Jepara.
Ratu Shima dikenal luas karena sikapnya yang sangat adil dan bijaksana. Suatu hari, ratu mendapatkan mimpi yang mengilhaminya untuk berpindah ke suatu daerah dan membangun tempat suci yang dapat mendekatkannya kepada Tuhan yang Tunggal.
Konon tempat itu dipilih oleh penasehat Ratu Shima setelah suatu malam ia mencium bau harum dari atas gunung yang ditumbuhi pepohonan ndarum yang tumbuh di sana.
Ingat nggak Bun, tadi waktu perjalanan ke candi keempat ada banyak pohon kantil yang katanya saat mekar pasti akan menebarkan aroma wangi di gunung?"
"Oh iya, benar juga, Kak. Jadi bisa saja keberadaan Candi Gedong Songo ini memang ada kaitannya dengan Ratu Shima karena dihubungkan dengan pepohonan kantil yang banyak tumbuh adalah pohon yang mengeluarkan aroma wangi itu." Tambah saya.
"Kata 'songo' juga merujuk pada cerita bahwa pada saat akan membangun candi, para pekerja atau tentaranya Ratu Shima harus belajar mengendalikan sembilan nafsu manusia yang mempengaruhi karakter manusia melalui sembilan lubang atau 'gerbang' dalam tubuh manusia.
Lalu, konon misteri yang sampai ini belum terpecahkan adalah tentang keberadaan candi kesepuluh.
Candi kesepuluh ini dikatakan bentuknya seperti candi satu. Bagian depannya ada gapura untuk jalan masuk. Katanya orang biasa tidak akan bisa melihat candi ini, kecuali orang-orang yang punya kelebihan tertentu.
Menurut cerita yang beredar, letak candi yang misterius ini berada di bukit paling tinggi, tepatnya di bukit belerang. Jalan menuju ke sana sangat terjal dan sangat sulit untuk menuju puncak tersebut.
Tidak ada yang berani datang kesana, karena tempat itu terkenal angker karena candi kesepuluh dijaga oleh raksasa serupa Butho Cakil yang dikenal sebagai salah satu tokoh wayang, dengan kulitnya yang hitam legam, dan mata yang merah menyala.
Entah benar atau tidak, tapi di bagian cerita ini aku masih sulit mengaitkan dengan fakta masa kininya. Menurut Bunda, apa hal logis yang mendasari mitos ini?"
"Hmm, bisa jadi candi itu memang ada, atau bisa juga itu cara orang di zaman dulu menjaga kesakralan sebuah lokasi dengan menguncinya menggunakan misteri yang tidak bisa dipecahkan.
Itu untuk mengajari manusia bahwa sepandai-pandainya kita mencari tahu tentang sesuatu hal, tetap ada batasannya.
Candi kesepuluh ini mau bilang bahwa ada hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu manusia.
Dengan adanya mitos candi kesepuluh aktivitas manusia untuk menemukan pengetahuan yang baru akan diiringi oleh kebijaksanaan yang juga didorong oleh rasa takut dan penhormatan terhadap kekuatan yang lebih besar dan Sang Pemilik Ilmu.
"Wah kesimpulan Bunda juga keren banget. Ini membuat kita akan terus menghargai kesakralan sebuah tempat meski di masa kini sudah dijadikan sebagai kawasan wisata ya."
"Betul Kak, karena apa yang saat ini kita anggap sebagai tempat wisata, di masa lalunya pasti telah terjadi berbagai peristiwa penting yang membentuk budaya atau bahkan tatanan yang masih kita jalani hingga saat ini."
Kabut tebal mulai bergerak menutup sebagian lanskap lereng Gunung Ungaran, kami terus meniti jalan kembali ke area bawah. Dari kejauhan pucuk-pucuk pinus dan puncak-puncak candi berpadu melukiskan sebuah pemandangan yang begitu magis.
Tidak salah jika beberapa wisatawan asing menganggap kawasan ini memiliki bio-energi yang serupa dengan area seperti di Tibet. Kesakralan tempat ini memang masih terasa kental, apalagi setelah perjalanan ini berhasil membantu kami menguak pesona akan mitos-mitosnya.
Akhirnya kami berhasil juga menceklis salah satu destinasi wisata di Kabupaten Semarang ini. Kami sangat puas dengan perjalanan menjelajahi kawasan Candi Gedong Songo ini.
Kalau mau menilai dari unsur Sapta Pesona Wisata, seperti keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan, dan kenangan, Candi Gedong Songo memenuhi ketujuh unsur tersebut dengan nilai yang sangat memuaskan.
Selain itu kami benar-benar merasa aman dan nyaman treking di kawasan ini: ada pemandu wisata yang berjaga dan bisa ditanyai perihal berbagai informasi, ada fotografer khusus yang mengenakan seragam resmi, dan juga staf kebersihan dan keamanan yang bisa kami mintai pertolongan sewaktu-waktu.
Nah, jika teman-teman kebetulan membaca cerita kami, jangan ragu ya, untuk menjelajahi kawasan Candi Gedong Songo ini. Semua kisah misteri yang mewarnainya justru makin menambah daya tariknya, kok. Niatkan juga ke sini untuk nature healing dan olahraga, pasti sepulang dari sini badan dan pikiran akan terasa segar kembali.
Buat teman-teman yang ingin mengikuti kisah perjalanan kami dalam bentuk video bisa langsung menonton di sini ya.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Pesona Wisata Kabupaten Semarang
Referensi tulisan :
https://www.borobudur.tv/history_1.html
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/candi-gedong-songgo-sebuah-bukti-ketahanan-budaya/
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/zonasi-kawasan-cagar-budaya-percandian-gedongsongo/
Lestari, Garsinia. 2016. Mengenal Lebih Dekat: Candi Nusantara. Jakarta: Pacu Minat Baca.
No comments