Psikologi
Drama Korea The Glory, Trauma Response dan Hidup dalam Survival Mode
Tidak semua rasa sakit dapat diobati dan disembuhkan oleh waktu. Beberapa rasa sakit yang menimbulkan luka psikis dan fisik yang berat tidak bisa dibiarkan begitu saja. Moon Dong Eun, tokoh dalam Drama Korea The Glory, diperankan oleh Song Hye-kyo, memilih jalan balas dendam untuk bisa menyembuhkan lukanya. Sebuah rencana disusun dan dijalankan sepanjang hidup Dong-eun untuk membalaskan dendamnya kepada Yeon-jin plus teman-teman yang telah merundungnya ketika di sekolah. Tetapi apakah balas dendam juga akan kita pilih jika ada di posisi Dong-eun?
Perundungan yang dilakukan oleh Yeon-jin kepada Dong-eun bukan hanya melukai secara psikis tetapi juga menimbulkan bekas luka fisik yang mengenaskan.
Saat menonton episode pertama, saya seolah bisa merasakan ketakutan dan kesakitan Dong-eun hingga memilih men-skip beberapa adegan.
Banyak adegan miris di drama ini, yang diambil dari kisah nyata. Buat saya salah satu adegan yang paling nyesek adalah ketika Dong-eun membuka seragam sekolahnya agar bisa menggesekkan kulitnya yang melepuh dan terasa gatal ke salju.
Luka psikis Dong-eun bertahan hingga dewasa, begitu pun juga luka fisiknya. Sampai dewasa pun Dong-eun masih sering menggaruk bagian lengannya ketika merasa cemas.
Saat sudah menonton sampai di episode ke-8 yang menjadi akhir dari season 1, muncul sebuah perenungan yang membuat saya ingin membahas drama ini dari sudut psikologis.
Terlepas dari jalan cerita di drama ini, jika di kehidupan nyata kalian adalah korban perundungan seperti Dong-eun, apakah pilihan kalian juga membalas dendam?
Entah mengapa jawaban saya sendiri rasanya terpolarisasi, di satu sisi saya membayangkan bahwa Dong-eun sebenarnya bisa saja move on dari semua kesakitan yang dialaminya; meminta ahli bedah plastik menyembuhkan dan menghilangkan bekas-bekas lukanya, setelah lulus ujian menjadi guru fokus menapaki karir mengajarnya, bertemu Yeo-jeong, menerima perhatian terhadapnya, bermain Go bersama, lalu menjalin hubungan lebih serius, serta membiarkan Ji-yeon dan teman-temannya menuai karmanya masing-masing.
Tetapi di sisi lain, saya menyadari benar, bahwa banyak dari kita yang terlalu mengandalkan kalimat 'waktu yang akan menyembuhkan luka-luka.'
Kita mungkin berpikir bahwa ketika seseorang terluka, tak apa-apa lah, toh waktu kelak akan menyembuhkan lukanya.
Setelah saya pikir kembali, di dalam kalimat 'biarkan waktu yang menyembuhkan', ada ketidakpedulian yang bisa berakibat fatal di kemudian hari.
Seringkali, baik keluarga terdekat korban atau orang lain menyepelekan kejadian dan akibat dari perundungan. Banyak kasus perundungan di masa kecil yang dibiarkan, dengan pemikiran bahwa kejadian masa kecil akan mudah dilupakan.
Padahal ketidakpedulian lebih menyakitkan daripada terang-terangan tidak dicintai.
Dalam drama ini kita akan menyaksikan sikap ketidakpedulian bertebaran, baik dari teman-teman sekolah, guru-guru, maupun pihak keluarga Dong-eun.
Di poin ketidakpedulian inilah, saya ingin lebih banyak menyoroti.
Banyak luka yang menjadi besar dan berlarut-larut terjadi karena seseorang tidak mengambil tindakan untuk menyelamatkan dirinya sendiri atau orang lain yang sedang terluka. Berpikir bahwa hal itu kelak akan dilupakan seiring waktu berjalan.
Kenyataannya, waktu tidak benar-benar bisa menyembuhkan luka-luka psikis seseorang. Seringkali luka-luka yang dilupakan dan dibiarkan itu akan muncul kembali dalam bentuk yang berbeda tanpa disadari. Ini sering disebut sebagai 'trauma response'.
Apa itu trauma response?
Contoh mudahnya begini, jika di masa lalu seseorang pernah dirundung secara verbal yang kemudian membuat dirinya jadi merasa tidak berharga, maka dalam perjalanan waktu selanjutnya, akan ada trauma response dalam bentuk : perasaan dan sikap ingin selalu menunjukkan pada orang lain bahwa dirinya berharga, layak, dan memiliki nilai. Caranya bisa dengan melakukan hal-hal yang baik, bisa juga sebaliknya.
Trauma response semacam itu tidak lantas salah, beberapa orang yang secara emosional cerdas menggunakan trauma response ini secara sadar untuk bangkit dan memberdayakan dirinya.
Kalau ingat kisah-kisah orang hebat, sebagian besar dari mereka terlahir menjadi 'berlian' berkat tekanan keras yang hebat.
Trauma response ini sering muncul di sepanjang perjalanan hidup seseorang yang memiliki luka traumatik, tanpa disadari. Ini adalah mekanisme bertahan bagi seseorang untuk mengembalikan dirinya dalam kondisi energi yang utuh kembali.
Beberapa korban perundungan, seperti juga Dong-eun, tidak sadar bahwa di sepanjang hidupnya energi yang ia kerahkan untuk hidup berada dalam 'survival mode'.
Mereka makan, minum, belajar, bekerja, dan memiliki pasangan bahkan berkeluarga seperti halnya orang normal pada umumnya, namun mereka tidak menyadari bahwa selama ini mereka bukan mengerahkan energinya untuk masa kini, tetapi untuk menambal kekosongan energi yang pernah terjadi di masa lalu.
Survival mode, membuat seseorang tidak bisa merasa bahagia di saat ini dan untuk dirinya sendiri.
Nyadar nggak, kalau di sepanjang drama The Glory, Moon Dong-eun bener-bener jaraaaang banget bisa tertawa lepas dan menikmati hidup. Bahkan waktu Kang Hyeon-nam yang direkrut Dong-eun jadi mata-mata mengajaknya untuk sedikit menikmati hidup dengan piknik dan makan telur rebus saja Dong-eun enggan.
Dong-eun tidak mau tertawa. Jika tertawa ia takut melupakan apa tujuan utamanya menjalani semua kepedihan hidup, yaitu membalas dendam.
Ia bahkan membangun dinding yang sangat tinggi agar orang lain tidak memberinya kasih sayang. Ingat bagaimana ia baru membalas pesan Pak Dokter setelah 8 tahun?
Jujur ini bagian paling menyakitkan dari trauma response: seseorang tanpa sadar tidak membiarkan dirinya bisa bahagia atau bahkan tanpa sadar menyingkirkan kasih sayang dari orang lain karena merasa takut kehilangan atau bahkan terlanjur terbiasa berada dalam kondisi merasa tidak disayangi.
Dalam kehidupan nyata, seseorang yang berada dalam survival mode tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya terkadang bukan untuk membahagiakan dirinya sendiri, kadang ia melakukan sesuatu seolah-olah untuk dirinya sendiri, padahal ia melakukan itu secara tidak sadar untuk menunjukkan pada orang lain bahwa aku baik-baik saja, aku sudah bahagia, aku sudah sukses. Ini lho, aku sekarang.
Orang yang berada dalam survival mode juga akan sulit merasa senang ketika melihat orang lain bahagia dan sukses. Sehingga muncullah sikap iri, dengki, memfitnah, yang berujung pada perundungan dan kekerasan berulang.
Inilah alasan kenapa siklus saling memangsa energi tidak akan berhenti, ini juga alasan mengapa trauma antar generasi sulit diputuskan, karena sebagian besar orang memilih 'waktu' sebagai jalan penyembuh luka psikisnya.
Dalam kasus Dong-eun, mengapa Yeon-jin merundungnya adalah karena ia sendiri juga pernah menjadi korban perundungan. Perlakuan ibu Yeon-jin padanya pun memicu ia menjadi memiliki sikap : 'aku merundungmu karena aku bisa melakukannya.'
Dalam bahasa konversi energi : energiku dihabiskan oleh ibuku dan orang-orang yang merundungku, sekarang saatnya aku memangsa energimu.
Kejahatan perundungan itu imbasnya mengerikan. Apalagi jika ada ketidakpedulian di dalamnya. Imbasnya bisa mengubah orang baik menjadi penjahat, begitu seterusnya. Siklus saling memangsa energi tidak akan pernah berakhir.
Sampai di titik ketika Moon Dong-eun terlihat punya kekuatan untuk bangkit ( diperlihatkan dengan kegigihannya belajar untuk bisa lulus ujian dan berkuliah sembari ia bekerja di pabrik tekstil dan pekerjaan lainnya) saya ikut merasa lega karena setidaknya Moon Dong-eun tidak akan selamanya terpuruk.
Tetapi dalam perjalanan menonton drama ini saya sadar bahwa energi besar yang digunakan Dong-eun untuk bangkit juga adalah energi yang sama yang membuatnya ingin membalas dendam. It's so sad.
Menariknya, dalam drama ini Moon Dong-eun justru mendapatkan dukungan dari orang-orang yang turut merasakan kepedihannya di masa lalu.
Yang menjadi pertanyaan, ketika balas dendamnya sudah tertunaikan, akankah Moon Dong-eun dapat kembali tersenyum, bisa menikmati hidup dengan piknik di taman sambil bermain Go dengan hati yang tidak akan mengkhawatirkan apa-apa lagi?
Jika kita kira balas dendam terbaik adalah dengan tidak reaktif dan berupaya untuk menggunakan energi diri sendiri untuk hal lain yang tidak menguras energi dan kapasitas mental, Mbak Dong-eun memilih untuk mengerahkan seluruh energi hidupnya menyusun rencana demi rencana untuk menghantui kembali hidup para perundungnya. Apakah jenis balas dendam ini akan memberinya kepuasan hidup?
Jawabannya bisa kita tonton di The Glory, Season 2 yang akan tayang bulan Maret mendatang di Netflix.
Dalam kehidupan nyata, seseorang yang pernah terluka di masa lalu juga seringkali tanpa sadar begitu keras melakukan sesuatu hanya untuk menunjukkan kepada orang yang pernah mengecilkan dirinya bahwa saat ini ia telah menjadi besar.
Namun apakah ia akan benar-benar bahagia ketika sudah berhasil menunjukkan hal itu?
No comments