Konten Viral Dan Kehidupan Yang Terkukung Algoritma Sosial Media

Konten Viral Dan Kehidupan Yang Terkukung Algoritma Sosial Media

Apa yang terjadi kalau penggerak atau motivasi dalam hidup kita didorong oleh konten viral yang bersliweran di linimasa? Pernah nggak, teman-teman menyadari bahwa kehidupan kita sebenarnya terkukung oleh algoritma sosial media? Dan bisa jadi algoritma sosial media juga berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan sehari-hari. 

Membiarkan diri kita lebih banyak memandang kehidupan dari kacamata sosial media ternyata membahayakan. Ada beberapa sisi horor yang tanpa sadar bisa berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya sering merasa insyekur. 

Tapi itu baru salah satu efek akhir saja, ada satu proses yang menimbulkan dampak lain yang benar-benar tidak kita sadari. 

Begini prosesnya, pertama kita akan menonton dan menyukai sebuah konten yang lewat di linimasa kita, maka algoritma akan membaca bahwa konten seperti itulah yang kita sukai, dan kemudian kita akan disuguhi konten serupa selama beberapa saat. Hal tersebut membuat konten-konten di media sosial kita menjadi seragam. 

Kondisi tersebut dikenal dengan istilah 'filter bubble'. Kondisi di mana informasi yang muncul di sosial media kita disaring oleh filter algoritma sehingga informasi yang muncul hanya yang sesuai dengan preferensi pemilik sosial media. Tapi bisa jadi, apa yang ada di sosial mediakita ini jauh berbeda dengan yang ada di sosial media teman kita yang lain. 

Jadi misalnya nih, kita menyukai konten-konten flexing, atau yang suka menunjukkan kemewahan maka sebagian besar informasi yang ada di sosial media kita akan seragam temanya. Tentu konten-konten seperti itu nggak masalah buat orang-orang yang melihatnya sebagai salah satu cara untuk memotivasi diri, tapi bagaimana jika sebaliknya? 

Belakangan ini sempat viral, konten video seseorang yang sedang mewawancarai Mbak-Mbak pebisnis asuransi yang menyebutkan penghasilan 1 milyar sekian dan pengeluaran bulanannya bisa ratusan juta. 

Kenapa video tersebut viral bisa jadi karena ada kontras dengan keadaan saat ini dimana rata-rata PDB jutaan penduduk Indonesia yang masih di bawah angka 5 jutaan. 

Kalau kita kaitkan dengan Filter Bubble tadi, apa yang diutarakan Mbak-Mbak pebisnis asuransi tadi bisa kita kira sebagai pendapat mayoritas, yang membuat kemudian kita jadi berpikir : kok masih gini-gini saja sih, hidupku. 

Apalagi kalau konten-konten flexing mengalir terus di sepanjang linimasa kita. Akibatnya tentu bisa memicu perasaan insyekur. Kita diberikan stimulus bahwa apa yang kita hasilkan belum ada apa-apanya, kita dituntut untuk menghasilkan lebih banyak, dan juga mengeluarkan lebih banyak lagi. 

Filter bubble menjadi salah satu hal yang membuat kita tidak bisa menentukan angka cukup untuk diri sendiri. Inilah yang kemudian memicu perasaan insyekur. 

Masih ada efek negatif lain dari Filter Bubble ini : kita jadi mudah terperangkap dalam perspektif yang itu-itu lagi. 

Kita hanya disuguhkan oleh informasi yang dianggap algoritma sesuai dengan preferensi sampai seolah-olah sudah mengetahui segala hal, padahal ya nggak juga. 

Kondisi tersebut membuat kita jadi pribadi yang acuh dan tidak peduli dengan informasi atau realita yang jauh dari diri kita atau tidak hadir di linimasa kita. 

Untuk itu kita mesti tahu dan paham bahwa algoritma sosial media tidak menjamin informasi yang tersaring sudah terjamin validitasnya. 

Algoritma juga membuat kita menjadi lebih mudah dibentuk sebagai sasaran target market. 

Jika melalui sosial media preferensi kita diketahui dengan jelas maka pengiklan akan lebih mudah memasukkan promosi yang sesuai dengan hal-hal yang kita sukai, akibatnya tanpa sadar muncul perilaku impulsif untuk mengonsumsi segala sesuatu. 

Aku perlu beli ini. Aku harus punya itu. Wah, aku belum punya ini, aku harus coba ke sana, dll. 

Algoritma juga membuat kita tenggelam dalam konten-konten yang kita disukai sehingga memicu perilaku untuk terus men-scrolling informasi dan konten yang membuat kita merasa terhibur sementara waktu, terdistraksi dari dunia nyata, dan mengira apa yang kita lihat adalah realita dunia yang sesungguhnya. 

Pertanyaannya, kita kudu gimana sih, biar nggak terkukung oleh algoritma? 

Pertama, seimbangkan kehidupan kita. Apa yang kita lihat di sosial media bukan kehidupan nyata, bukan segalanya. Lakukan detoks sosial media secara berkala. 

Energy is currency


Rajinlah untuk menghapus browsing history atau pencarian. Hapus tag dan lokasi saat mencari informasi tertentu. 

Aktifkan ad-blocker dan mulailah membaca buku atau artikel bukan dari sumber digital, belajarlah untuk menjadi lebih divergen dengan mencermati isu-isu lain, belajar hal baru yang belum pernah kita lakukan, coba pahami hal-hal yang tidak kita sukai. Selalu berusaha menggeser-geser titik berdiri. 

Kalau ada konten viral yang nggak kita sukai, nggak usah dilike apalagi kasih komen, karena semakin kita memberikan atensi, konten tersebut akan makin naik, dan secara nggak langsung akan memengaruhi informasi yang hadir di linimasa kita. 

Karena kehidupan yang sesungguhnya tidak selalu tentang apa yang sedang viral di sosial media. 


1 comment:

  1. Iya nih, hrs rajin delete browsing history. So far sih, Krn aku memang suka dan rutin workout, jadi seringnya nonton dan browsing ttg workout dari banyak instruktur olahraga mba. Akibatnya, semua iklan dan timeline yg lewat ya tentang workout semua 🤣. Awalnya aku seneng, Krn jadi banyak belajar dan tau gerakan2 workout yg aku benar. Tapi lama2 jadi bingung sendiri, apalagi kalo masing2 instruktur itu ada yg saling ga setuju, dan ujung2nya war di komen 😂😂😂.

    Akhirnya aku mau fokus Ama akun tertentu aja, biar ga pusiiing 😄.

    Tapi memang ga BGS juga kalo apa yg lewat di medsos kita hanya itu2 aja. Kayak ga berkembang dan jadinya ga tau hal lain ya

    ReplyDelete

Powered by Blogger.