Pelajaran Tentang Berguru & Bersinergi Dari Surat Al-Kahfi
Pada satu titik dalam hidup, kita mungkin pernah merasa paling menguasai suatu pekerjaan, paling terampil dalam melakukan sebuah kompetensi, bahkan merasa paling memahami sebuah ilmu, hingga merasa kitalah yang paling bisa, dan paling baik dalam suatu hal. Kondisi itu bisa membuat kita enggan berbagi tugas dengan orang lain, meski seharusnya ada delegasi dan sinergi dalam sebuah pekerjaan. Sikap seperti itu juga bisa membuat kita berhenti belajar atau berguru lantaran merasa sudah mampu. Tahukah teman-teman, Nabi Musa AS juga pernah berada di posisi dimana dirinya merasa yang paling alim, sehingga kemudian Allah SWT menegurnya. Kisah ini bisa kita ambil hikmahnya saat membaca Surat Al-Kahfi.
Suatu ketika Nabi Musa sedang berkhutbah di hadapan kaum Bani Israil, dan ia ditanya oleh kaumnya, siapakah orang yang paling berilmu?
Nabi Musa pun menjawab, bahwa beliaulah orang yang paling berilmu.
Meski sebenarnya, kalau dipikir-pikir hal itu bisa benar, karena Nabi Musa adalah seorang Ulul Azmi, dan beliau juga berbicara langsung dengan Allah, serta menerima Kitab Taurat. Namun, kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepadanya, :
Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan, dia lebih alim daripada kamu."
Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah caranya saya dapat bersua dengannya?" (Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Kahfi ayat 60-82)
Mengapa Musa AS sampai ditegur oleh Allah? Karena beliau tidak menyandarkan ilmu yang dimilikinya kepada Allah, maka ia pun ditegur dengan ditunjukkan oleh Allah SWT bahwa di atas gunung masih ada gunung lain yang lebih tinggi.
Teguran itu kemudian menggerakkan Nabi Musa untuk belajar kepada orang alim yang disebutkan oleh Allah SWT.
Pelajaran tentang berguru dan bersinergi juga pernah disampaikan oleh mentor saya, ketika sedang belajar tadabbur Surat Al-Kahfi.
Sebelum itu, saya pernah bertanya kepadanya bahwa ada satu ayat dalam Al-Kahfi, yang ketika saya baca, saya selalu terdiam sejenak di bagian ayat ini, dan sering merasa haru bahkan menitikkan airmata. Kenapa ya, hal itu terjadi? tanya saya.
قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِى وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
Saya baca terjemahannya : Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Ternyata untuk bisa memahami pesan apa yang sebenarnya ingin Allah sampaikan, sehingga setiap sampai di ayat tersebut, saya merasa sangat tersentuh, butuh waktu yang cukup lama. Bahkan pada akhirnya saya baru sadar setelah merasakan sebuah perpisahan terlebih dahulu.
Setelah sekian lama, baru benar-benar bisa menyadari apa makna spesial ayat itu untuk saya.
Flash back ke masa lalu, waktu itu saya masih di posisi menjadi murid (kuliah), dan sukanya ngeyel. Udah ilmunya masih cetek, tapi ngeyel, dan apapun yang dilakukan oleh salah satu guru di masa itu, saya selalu menentangnya meski tidak terang-terangan.
Kemudian masuk ke dunia profesional, saya harus belajar kepada seorang mentor, dan saya merasa kurang suka sama orang tersebut tanpa alasan yang jelas.
Waktu itu, saya masih jadi reporter di sebuah majalah dan merasa nggak klik dengan mentor ini. Entah gimana, saat itu saya kurang suka cara dia menyampaikan petuah. Bisa jadi karena petuahnya banyak mengandung kebenaran yang masih sulit saya terima saat itu. The truth is hurt.
Saya kena batunya ketika mau nggak mau harus berurusan secara profesional dengan beliau. Rasanya dia tahu, kalau saya ini nggak simpati sama dia, meski saya juga nggak pernah menunjukkan sikap nggak suka secara terang-terangan.
Tetapi Masya Allah, dia tetap bersikap baik, membimbing bahkan memuliakan. Lucunya saya malah suka kesel kalau beliau mengatakan saya bisa ini-itu di depan rekan yang lain. Dengan sikapnya itu, saya merasa malah jadi sering ketambahan kerjaan.
Dan ketidaksukaan saya serta perbedaan frekuensi itu pun membuat Allah menjauhkan saya darinya pelan-pelan.
Sejujurnya, kalau dilihat dari teropong masa kini, saya yang mendapatkan banyak kerugian ketika dijauhkan Allah dari beliau. Sebaliknya, beliau malah makin sukses saja dengan jalan karirnya.
Saya tidak pernah kecipratan kebaikan yang gratis ia sebarkan, tapi orang lain berebut mendapatkan pelajaran dari beliau dengan membayar.
Singkat kata, Allah tidak lagi mempertemukan jalan kami. Saya pun bekerja di tempat lain, lanjut kuliah, melanjutkan kehidupan, dan bertemu guru-guru lain.
Saya selalu menduga, kemudahan belajar dari seorang guru yang menurut saya baik adalah anugerah. Nyatanya nggak selalu gitu. Guru-guru yang nyebelin ternyata lebih punya impact dalam pertumbuhan pribadi saya, ketimbang guru yang selalu sejalan dengan pemikiran saya.
Kehidupan kemudian mengantarkan saya memiliki mentor dan guru lain, termasuk di dalamnya mentor dari kalangan keluarga sendiri.
Ketika mengingat bagian ini, saya sadar bahwa perpisahan yang sesungguhnya adalah ketika kita mengabaikan keberadaan sesorang yang sejatinya Allah hadirkan sebagai mentor kehidupan tanpa kita sadari.
Mengabaikan seseorang yang Allah SWT letakkan posisinya dalam hidup kita sebagai seorang guru atau mentor adalah sebenar-benarnya perpisahan.
Sejak merenungkan hal itu, baru kemudian saya sadar, mengapa saya sering menangis saat membaca ayat di surat Al Kahfi tersebut.
Rupanya saya telah kehilangan mentor spesial dalam hidup, yang awalnya nasehatnya sering saya anggap biasa.
Saya sering berpikir kiat hidup yang hebat itu harus berisi nasehat-nasehat yang terdengar hebat juga, padahal kiat hidup yang seringnya mujarab justru terdapat pada nasehat sehari-hari yang terdengar biasa saja.
Sering nasehat semacam itu kita abaikan karena terdengar biasa, common things, padahal khasiatnya kalau dijalankan dengan konsisten dan sungguh-sungguh sangat luar biasa.
Saya berpisah dengan banyak guru kebaikan dalam hidup ini berulang kali. Patah hati berkali-kali, seringnya tanpa disadari karena gagal mempelajari sesuatu hal dari orang-orang yang sengaja Allah hadirkan untuk pertumbuhan pribadi saya.
Kenapa gagal?
Pertama karena gagal mengenali keajaiban nasehat yang sering berselimutkan hal-hal yang tampaknya biasa banget.
Kedua, karena sering terperdaya oleh mahluk bernama ego.
Kita semua punya sisi ego yang selalu merasa: saya sudah benar. Saya nggak perlu belajar. Aku bisa kok. Kepedean. Halu. Ego yang kalau melihat orang lain : Hilih, gitu aja, aku juga bisa kok. Alah, aku bisa kerjain sendiri, Laah, gitu doang, aku juga udah pernah, dan sebagainya.
Hingga kemudian kita berhenti belajar dan merasa menjadi yang paling. Kita lupa bahwa dalam hidup perlu ada sinergi, dan sinergi baru bisa dilakukan kalau kita bisa mengempiskan ego.
Padahal tanpa sadar, bersikap merasa paling bisa, merasa lebih baik dari orang lain, dan merasa berjasa kepada orang lain justru akan menjebak diri kita sendiri, ke dalam lingkaran setan: kita jadi harus mengerjakan apa-apa sendiri, kita jadi meremehkan orang lain, akibatnya orang lain pun enggan kerja bersama. Akibat merasa yang paling, kita jadi memikul apa-apa sendiri.
Kita lupa, setan itu kalau sudah kehabisan cara menggelincirikan kita dalam perbuatan dosa, akan menggelincirkan dengan cara membuat diri ini merasa jadi yang paling hebat.
Karena merasa paling hebat, inilah awal mula kita jadi harus selalu merasa memiliki beban lebih.
Kembali ke kisah Nabi Musa, ketika ia kemudian diberitahu oleh Allah SWT bahwa ada orang lain yang lebih berilmu darinya, Nabi Musa pun bertanya kepada Allah, bagaimana ia bisa belajar kepada orang tersebut. Allah pun memberikan petunjuk, dan Nabi Musa pun memulai sebuah perjalanan untuk mempelajari ilmu baru dengan bertemu Nabi Khidir.
Setelah Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir, ia berkata :
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًاJika Allah tidak menegur Nabi Musa untuk berguru kepada Khidir, akankah Musa kemudian bisa menyadari bahwa ia memiliki kelemahan dalam berbicara dan menyampaikan suatu maksud, hingga ia kemudian sadar untuk bersinergi dengan Harun, Kakaknya.
"Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sungguh aku takut mereka akan mendustakanku (QS.Al-Qasas:34)
Berkat keberhasilan Nabi Musa belajar mengempiskan egonya, kita sekarang mengenal ketawadhuan dalam doa Nabi Musa :
Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku (QS.Toha 26:28).
Begitulah dahsyatnya sikap tawadhu dan mengempiskan ego : dapat melahirkan doa dan kepasrahan kepada Allah SWT.
Ketika begitu rindu dengan sosok mentor dalam hidup saya, saya mengingat kembali nasehat-nasehatnya, dan kemudian bertekad menjalankan semua amanahnya. Amanah berupa nasehat-nasehat yang dulu sering saya sepelekan.
Pagi itu bersama Bapak dan salah satu mentor kami, masih ingat kalimat beliau : kami pasti akan sampai pada titik mengerjakan apa yang memang kami banget. |
Kini ketika beliau telah berpulang kepadaNya, saya sering rindu nasehat itu. Tapi cambuk terbesar untuk bertindak adalah penyesalan dimana kita tak lagi mampu menunjukkan bakti kepada orangtua dengan menunjukkan secara langsung bahwa kita telah menjalankan amanahnya.
Al-Fatihah untuk Bapak, juga mentor-mentor lain yang telah lebih dahulu pulang ke kampung halaman yang sesungguhnya.
Semoga kelak, Allah izinkan saya berkumpul kembali dengan mereka.
Subang, 16 Mei 2022.
No comments