Pengasuhan Anak
Psikologi
Kehidupan Setelah Covid-19 : Antara Strategi Dan Harapan.
Sudah sebulan lebih sejak 2 Maret 2020 ketika diumumkan adanya kasus positif pertama Covid-19 di Indonesia kita dianjurkan untuk melakukan social dan physical distancing. Awalnya untuk 14 hari kemudian masih berlangsung hingga kini, dan entah sampai kapan. Tanpa kita sadari, 14 hari adalah waktu terpendek untuk membentuk atau menghapus kebiasaan baru. Jadi, apa yang berubah setelah 14 hari di rumah saja, dan bagaimana kelak kehidupan after Covid-19?
Di Rumah Saja Tidak Sesimpel Yang Kita Bayangkan.
Bagi sebagian orang, 14 hari mungkin bisa berarti memperlambat ritme, melonggarkan pacuan, beristirahat. Tetapi bagi sebagian orang lain 14 hari bisa berarti mengencangkan ikat pinggang pengeluaran, atau sebaliknya syaraf-syaraf justru malah mengencang.
Belajar dan bekerja dari rumah tidak selalu mudah bagi setiap orang. Prioritas, kebutuhan, dan hajat hidup membuat masing-masing merespon anjuran bekerja di rumah secara berbeda-beda.
Tidak semua pekerjaan bisa di-gebyah uyah untuk dikerjakan dari rumah. Tiap perusahaan bahkan pada akhirnya menyesuaikan kebijaksanaan bekerja dari rumah. Ada juga yang karena kondisi akhirnya terpaksa merumahkan pekerjanya.
Pandemi ini menyasar semua sendi. Ibarat sesosok tubuh, setiap bagian sendi dilemahkan. Tetapi tidak lalu semua bagian bisa beristirahat lantaran situasi ini. Seperti juga jantung pada tubuh kita yang kudu terus berdetak memacu nadi kehidupan. Tidak boleh melemah pun beristirahat.
Di masing-masing keluarga, juga ada jantung yang harus terus berdetak, begitu pun di sebuah perusahaan. Meski sendi atau bagian tubuh lainnya melemah, yang menjadi jantung-jantung kehidupan harus terus berdetak.
Mempelajari situasi yang sudah berlangsung lebih dari sebulan ini, saya pribadi menarik satu kesimpulan bahwa seharusnya dibuat kebijakan dan implementasi yang tegas dalam kondisi ini sehingga flatten the curve dapat tercapai, hingga laju kehidupan masyarakat bisa kembali normal setelahnya. Lalu secepatnya kondisi sosial ekonomi pun ikut membaik.
Saat ini kebijakan masih diterapkan setengah-setengah hingga mungkin sebagian orang sudah mulai jengah, mau di rumah tapi rezeki pun harus dijemput di luar sana. Harus obah.
PSBB disetujui, tapi koordinasi antar jajaran atas masih terkesan sendiri-sendiri, ya gimana dong Menkes nandatanganin PSBB, Menhub sama Menteri Perindustrian malah malah mengizinkan ratusan kantor tetap buka, Indonesia sendiri butuh APD tapi masih ada ekspor.
Memikirkan gambaran besar life after Covid-19 membutuhkan banyak detail rumit yang saling terkait. Membaca, misalnya tulisan Yuval Noah Harari tentang kondisi dunia dan ekonomi pasca pandemi, jujur saya pusing.
Simpan energi untuk memikirkan skala kecil dulu agar tak pening. Apalagi yang skala kecil pun masih bisa terimbas variabel ketidakpastian. Psikologi ketidakpastian menjadi kajian yang kini mulai saya baca-baca kembali.
Di titik ini, akhirnya sebagian besar dari kita mungkin mulai membangun harapan tentang bagaimana dan apa yang akan kita lakukan setelah pandemi ini berakhir.
Tidak ada yang salah dengan berharap, namun saya selalu teringat Aang Avatar, Si Pengendali Udara yang berkata : harapan adalah pengalih perhatian.
Kalimat itu memiliki nilai kebenaran. Mungkin karena harapan ada di masa depan dan kita hidup di masa sekarang. Kita sering teralihkan oleh mimpi dan lupa berstrategi dan menjalani hari untuk meraih impian tersebut.
Ketika berdiskusi dengan Pak Suami pun, saya berkata bahwa mungkin ini terdengar menyebalkan, tapi saya sedang tidak berani bermimpi. Mari hadapi realita saja dulu. Baru berharap kemudian.
Strategi Dulu Baru Harapan.
Realita pertama, anak-anak akan belajar di rumah. Entah sampai kapan. Si Sulung seharusnya masuk SMP tahun ajaran baru nanti. Dan ini cukup menjadi concern kami berdua.
Siapa yang mampu merumahkan pikiran dan jiwa yang sedang berkembang? Anak 13 tahun butuh sosialisasi, butuh hari-hari dengan percikan kompetisi agar mereka semakin tumbuh kuat beradaptasi. Ada tugas-tugas Psikologi Perkembangan yang lekat kaitannya dengan urusan pertemanan dan kompetisi di usia ini.
Kami mulai serius berpikir tentang kemungkinan homeschooling. Atau setidaknya_jika kemungkinan terburuk bahwa pandemi ini baru akan berakhir di bulan September_setidaknya kami sebagai orangtua punya persiapan pembelajaran anak-anak di rumah selama satu semester.
Strateginya adalah mempersiapkan home based learning yang bisa merespon zaman dan sesuai untuk generasi Z.
Harapannya setelah pandemi ini berakhir, anak-anak tetap bisa kembali ke sekolah formal, namun sudah memiliki kebiasaan belajar di rumah yang mengakar dan membuat mereka mencintai proses menimba ilmu dan melatih kompetensi diri. Selengkapnya tentang pendidikan di rumah akan dibahas di artikel tersendiri, yap.
Realita kedua, belum ada sebulan WFH kantor suami sudah memperlakukan kembali WFO. Di tengah situasi ketidakpastian ini banyak perusahaan yang mau tidak mau tetap harus mengenjot pedal lebih kencang, dan WFH bukan pilihan untuk itu.
Rasanya baru saja selesai menamatkan buku-buku Rhenald Kasali tentang shifting besar-besaran di era 4.0 kini kita sudah harus berhadapan lagi dengan shifting baru di era Covid-19.
Bekerja kembali di luar rumah dan harus bertemu cukup banyak orang yang tidak bisa kita kontrol sudah bertemu dengan siapa saja di masa-masa begini memang berisiko. Bekal perangkat imunitas harus dipersiapkan dan semakin dinaikkan levelnya, mencakup juga imunitas fisik dan mental.
Harapannya, bisa terus sehat dan survive bekerja di luar rumah hingga kondisi pandemi berakhir. Dan perangkat imunitas yang selama ini dibawa akan membantu membentuk kebiasaan sehat fisik dan mental yang baru.
Realita ketiga adalah ketahanan mental seorang ibu menghadapi situasi penuh ketidakpastian, sementara level kewarasan harus terus dijaga karena mengemban begitu banyak peran yang pada hari biasa mungkin akan membuat kepala kita meledak.
Strateginya bukan cuma soal manajemen waktu, tetapi juga belajar mengendurkan otot perfeksionis. Better done than perfect. Ini jadi penting juga karena yang sering kehabisan bukan cuma waktu tapi energi dan stok sabar. Maka harus ada manajemen emosi dan energi juga.
Biarin dulu rumah berantakan, ya mau gimana sekarang ruang tengah bisa berubah jadi kelas sekaligus lapangan.
Lagi nggak Konmari-konmarian. Buku-buku lama yang dikarduskan sekarang di bongkar ulang, ditata per kesesuaian jenis bacaan untuk usia 13 tahun dan anak TK. Ya masak, anak-anak mau youtube-an terus. Justru masa-masa gini, saatnya menaikkan kembali minat baca.
Tapi mamak juga bahagia meski ngga konmari-konmarian, gantungan baju yang numpuk di balik pintu kamar kini nggak ada, handuk basah juga ngga lagi tertinggal di kamar. Semua mulai mengunduh kebiasaan baik baru. Habis pakai langsung jemur atau cuci.
Ah tapi itu saja rasanya nggak cukup, saya masih belum menemukan strategi yang pas selain menjembarkan hati untuk menghadapi situasi ini. Mungkin akan saya tulis di bagian tersendiri juga. Gimana kita, buibu menjaga kewarasan di era pandemi.
Harapan saya sebagai seorang ibu setelah pandemi ini berakhir, hal-hal baik yang merupakan blessing in disguise dari pandemi ini tetap bertahan; bonding keluarga yang makin kuat, ketahanan diri menghadapi the mundane things dalam keseharian ditambah, standar bahagia diturunkan hingga bersyukur seolah mudah, mengalir, otomatis. Dimudahkan untuk mensyukuri hal-hal kecil itu anugerah.
Mungkin kondisi dimana level berdoa kita dipaksa ke posisi sakpole, tapi level standar kebahagiaan diturunkan itu lebih baik buat kejiwaan. Kita jadi makin gampang bahagia karena hal-hal sederhana. Bahkan berkumpul bersama di penghujung hari sambil bisa kruntelan di kasur bareng-bareng sudah sangat membahagiakan. Atau bisa tetap menjaga produktifitas menulis rasanya udah pencapaian.
Nikmat sehat, nikmat menghirup udara segar, nikmat berkumpul, dan begitu banyak nikmat kecil lainnya yang selama ini kita taken for granted.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan setelah pandemi berakhir. Yang mulai saya rasakan sekarang, saya lebih mudah belajar bersyukur. Mungkin nanti ke depannya penduduk dunia akan makin mudah merasa bahagia tanpa perlu pindah ke Finlandia atau negara lain dengan indeks kebahagiaan tertinggi di dunia.
Alhamdulillah.perbanyak syukur semoga ditambah nikmat dan bahagia..aamin
ReplyDeleteMaya juga ada baca yang Yuval Noah Harari...lumayan nangkep, betul kata mb nia lebih baik strategi dulu baru harapan. Tapi klo dari buku the secret Rhonda Bryne lebih ke perasaan dulu, harapan, terus strategi :D Kalau saya sih realistis ajalah dulu, pakai otak :D
ReplyDeleteBermimpi tanpa aksi gak ada harapan ya. Tapi di masa pandemi kaya gini memang harus bisa menghadapi realita apalagi kita gak hidup sendiri tapi ada keluarga terutama anak-anak yang udah bosan di rumah tapi harus dihadapi. Hikmah dari di rumah aja aku jadi rajin masak & sama beres-beres. Semoga Pandemi segera berakhir ya.
ReplyDeleteBtw aku ada buku Yuval Noah Harari tapi belum baca, itu yang baca malah suami & ankku yg pertama :)
aia sekarang rasanya udah ga bisa berkata-kaa lagi. mungkin saking pasrahnya ga tahu mau gimana dan memang harus terima kenyataan. semoga pandemi lekas berakhir.
ReplyDeleteBeruntung yaaa masih ada tempat bernaung yang luas, sehingga anak anak tetep bisa beraktifitas di rumah
ReplyDeleteada tetangga yang anaknya banyak, rumahnya super sempit, aku suka sedih bayanginnya
Aku yang terbiasa nyantai dan memandang segala sesuatu itu mudah, kini merasa begitu sulitnya keadaan. Pingin tetap berada di level standar kebahagiaan yang tipis-tipis aja seperti yang selama ini udah dijalani, tapi entah mengapa di belakang kepala rasanya kayak ada sesuatu yang kudu diwaspadai. Berasa gitu juga nggak Nia?
ReplyDeleteKondisi ini memang menyedihkan sekali. Ibarat luluh lantak gitu semua sendi kehidupan. Berasa semua ngos-ngosan untuk menghadapi pandemi, yang semoga saja segera berakhir dengan datangnya Ramadhan nan suci ini nanti ya. Aamiin.
Banyak perubahan positif karena pandemi ini ya, Ni. Semoga wabahnya lekas usai tapi ga membalikan lagi kebiasan baik kita yang sudah terbentuk saat ini. Sedih lihat dampak negatif dari wabah Covid 19 ini
ReplyDeleteSelalu ada hikmah dibalik setiap kejadian. Mungkin awalnya kita harus beradaptasi untuk menerima keadaan
ReplyDeleteTapi tetap saja harapan selalu ada agar wabah ini lekas menghilang dari muka bumi terutama di negeri kita agar keadaan bisa kembali membaik
Duh i felt that too Nia. Apa yg kamu bilang itu bener. Work from home itu tidak semudah yg dibayangkan. Ada waktu dan sabar yg harus dipersiapkan. Rumah jadi lebh berantakan. Manajemen wkt yg harus dibereskan. Emosi seorang ibu yang mendadak berantakan juga karena mainan berantakan gak kunjung usai.
ReplyDeleteTapi satu hal yg perlu disyukuri adalah nikmat sehat dan bisa berkumpul dengan keluarga atau orang tersayang dengan lebih lama. krn kita gak tau sampai kapan kita bersama2 seperti ini dalam waktu yg cukup lama ya.
Memang banyak sekali yaa mba penyesuaian yang harus dilakukan gara - gara pandemik ini. Kami jalani satu persatu walaupun memang tidak selalu mudah. Semangat terus ya mbaaa
ReplyDeleteBanyak banget yaah Mbak yang bisa dipelajari sengan adanya Covid ini. Dan kita harus selalu berpikir positif untuk kesehatan mental, itu yang utama. Semoga kita selalu diberi kesabaran oleh Allah SWT. Aamiin
ReplyDeleteUdah hampir 2 bulan di rumah aja, nggak kemana-mana itu rasanya nggak tau deh, udah pasrah banget. Selalu ada hikmah dibalik musibah.
ReplyDeleteSemangat buat kita, semoga wabah ini segera berakhir, aamiin
Aku masih belum WFH mba kemarin sempet cobain dan itu bener banget ga mudah duh rasanya ya capek bener daku ini kalau di rumah belum kerjaan kantor belum kerjaan rumah belum tugas anak duhhh,,yg jelas memang covid-19 ini melemahkan semua sendi ya
ReplyDeleteEfek pandemi ini mgk bisa saya ibaratkan seperti efek domino, di satu sisi upaya utk mencegah meluasnya penyebaran virus, di sisi lain ada 'saluran' kehidupan yang di paksa utk hiatus yg memunculkan dampak bangkitan tdk sederhana.
ReplyDeleteSaya termasuk yg masih WFH dan WFO, selang-seling. Saya juga kadang merasa bingung, dengan strategi2 yang diterapkan utk memutus rantai covid-19 yang sepertinya belum dilakukan secara terintegrasi.
Apapun itu, di level saya yg bisa dilakukan adalah better done as well than perfect.
Badai pandemi ini InsyaAllah akan berlalu, dan semoga saat badai sdh berlalu kita masih diberi kesehatan dan kekuatan utk berdiri dan melanjutkan kehidupan. Kebiasaan postif yang kita unduh saat pandemi ini bisa lestari dan ditingkatkan, Alhamdulillah.
Wah sama kyk yang aku pikirkan mbak, awalnya saya pengen HS, kemudian dengan segala pertimbangan akhir tahun kmrn daftarin anak2 masuk sekolah, eh ternyata ada pandemi. Cuma gak tau Juli akan berakhir atau gak krn liat di luar pd santuy gtu. Saya ngarepnya ada kebijakan belajarnya sekalian diundurin aja akhir atau awal tahun.
ReplyDeleteBerat memang ya masa masa ini, nggak cuma untuk kita tapi untuk anak anak juga. apa yang bakal terjadi di depan juga masih abu abu banget. Berharapnya semoga semuanya cepat kembali seperti biasa ya mak.. Aamiinn..
ReplyDeleteBener, Mbak. Aku yang di daerah pun merasakan sekali dampak dari wabah ini, meskipun alhamdulillah di kota kami penyebarannya masih 1-2 orang. Tapi secara ekonomi terasa banget. Sbg IRT kudu putar otak gimana caranya agar bisa berhemat sedemikian rupa. Semoga wabah ini segera berlalu, kita bisa hido normal lagi seperti dulu, daaan semua kebiasaan baik selama wabah ini tetap bisa dipertahankan. Aamiin.
ReplyDeleteBanyak hal yg telah dirubah oleh wabah covid ini. Tidak terkecuali gaya hidup dan masa dpn sebagian masyarakat. Memang tdk ada salhnya kita mulai mempersiapkan kehidupan yg benar-benar baru pasca wabah ini.
ReplyDeleteAku tadinya masukin swasta langsung puter balik ke negeri sdnya. Pdhl yg swasta udah daftar. Atuhlah ya gimana lagi, dripda ga jelas.
ReplyDeleteSemangattt makkkk semoga terlewatiii
Banyak sekali dampak pandemi kali ini ya Mbak. Kalau aku pribadi jadi lebih sering masak. Biasanya jajan melulu. Rumah juga dikondisikan biar bisa buat kerja dari rumah ayahnya sekaligus sekolah dari rumah anak-anak . Tapi ada untungnya juga sih. Seperti menemukan kembali anak-anakku yg hilang. Sejak SMP seperti mempunyai dunia sendiri mereka. Pulang sekolah ,,nyalain AC dan di kamar sampai pagi kecuali turun ambil makan dan makan juga di kamar. Sekarang anak-anak makan bersama siang dan malam . Bahagiaaa..
ReplyDeletemenurutku disaat seperti ini, analysa macam apapun bisa dipakai dan tidak, karena ketidakpastian situasi ini, yang paling ampuh menurutku restart,, mulai semua dari 0 lagi,, menyusun segalanya walaupun sebelumnya sudah terencan, pendemi berakhir kita bisa lahir kembali, menjadi manusia dengan perilaku yang lebih baik,,, layaknya saat quaratien jadi lebih perhatian sama keluarga, rajin masak, hati-hati pakai uang, menjaga kebersihan, rajin berdoa dll. semoga semuanya segera berakhir
ReplyDeleteMudah - mudahan semuanya ini segera berakhir, membaik dan semakin baik. Dunia ini mungkin butuh reset sehingga dibenerin dulu dengan cara gini, semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita semua.
ReplyDeleteAku bersyukur karena bisa upgrade diri lagi untuk mengajarkan blog ke orangain di masa pandemi ini dari rumah
ReplyDeleteSemoga segera berlalu ya ujian virus yang mengerikan ini. Dan kehidupan kembali berjalan normal seperti sebelumnya.
ReplyDeleteBener ga mudah di rumah aja kadang mati gaya ...anak2 bosen, diminta baca buku katanya bc buku aja dan udah semua dibaca berkali2 mbri mereka pengertian knp harus s rmh aja
ReplyDelete