Self Healing Journal
Sepatu Usang Milik Orang Dan Schadenfreude
Sepatu Usang Milik Orang Dan Schadenfreude*
Aku melihatnya duduk di sebuah kafe bersama bayi mungil di dalam dekapannya. Uap panas dari cangkir minuman di mejanya tampak kontras dengan udara New York yang beku.
Bayi mungil itu terlihat tenang menyusu pada ibunya, sementara sosok Sang Ibu tampak bahagia, tidak ada sedikit pun tanda-tanda kelelahan tergores di kulit wajahnya yang mulus.
Bagaimana bisa ia bepergian secepat itu setelah melahirkan anaknya. Apakah ia tidak merasa lelah? Sungguh beruntung bayi kecil itu sudah ikut bepergian dengan ibunya melintasi banyak benua.
Kulihat semua itu bersama sebuah pikiran yang melintas : Andai aku yang duduk di kafe itu, pasti aku akan bahagia. Tidak seperti sekarang.
Di lain waktu, aku melihat pemandangan yang lain.
Sosok cantik tinggi semampai sedang berdiri menghadap padang rumput hijau. Keindahan alam yang menakjubkan terhampar di depannya. Punggungnya ditutupi kain tenun Sumba berwarna merah dan ungu.
Entah bagaimana, hampir setiap minggu sosok tinggi semampai itu selalu berpindah dari satu tempat yang cantik ke tempat lain yang tak kalah indahnya. Tidakkah ia lelah? Rasanya tidak.
Tapi bagaimana cara ia membiayai perjalanan-perjalanan itu. Bukankah negeri-negeri cantik di timur hanya bisa dikunjungi dengan merogoh kantong dalam-dalam.
Seandainya aku bisa bebas bepergian seperti dirinya, hidupku pasti akan terasa lebih bermakna.
Gambar lainnya. Sosok lainnya. Cerita lainnya. Setiap hari sosok-sosok itu selalu menyuguhkan kehidupan yang tampak lebih baik dari kehidupanku.
Baju mereka tampak lebih baru dan kekinian ketimbang milikku. Anak-anak mereka tampak lebih tampan dan cantik dan juga lebih cerdas ketimbang anak-anakku. Rumah mereka tampak lebih megah, lebih rapi, lebih artistik. Makanan yang mereka makan tampak lebih enak, lebih mahal, lebih kekinian.
Semua yang kulihat membuat apa yang kumiliki jadi tidak memiliki arti. Semua yang kumiliki jadi tampak biasa-biasa saja. Semua yang kumiliki hanya itu-itu saja.
Setiap hari kusentuh layar untuk melihat 'tetangga-tetanggaku' itu. Mereka sedang apa? Aku mulai mencari tahu bagaimana caranya agar hidupku bisa seperti mereka. Bekerja lebih giat lagikah?
Oh, mungkin bukan dengan bekerja karena rasa-rasanya mereka tak pernah terlihat sibuk bekerja, waktu mereka selalu ada untuk bepergian, berbelanja, dan makan-makan di kafe yang mewah.
Lalu apa? Bagaimana caranya?
Oh, lihat. Mungkin itu karena pasangan mereka yang pengusaha.
Oh, seandainya pasanganku juga pengusaha.
Oh, lihat. Di lain waktu para Kakek atau Nenek muncul dalam cerita. Pantas saja. Dari keluarga penjabat atau keluarga kaya.
Oh, seandainya.
Oh, seandainya.
Oh, seandainya.
Bisa kupinjam sepatu milik mereka. Bisa kupakai sepatu milik mereka. Bisa kupamerkan sepatu milik mereka.
Hingga waktu bicara.
Wanita yang menyusui bayinya di sebuah kafe di New York itu kini seorang single mom dengan tiga anak. Ia tetap tampak tangguh dan bahagia setelah bercerai. Benarkah? Tidak tahu juga.
Lalu jika aku menginginkan hidupnya. Apakah aku juga bisa setangguh dan tetap (tampak) sebahagia itu?
Lalu sosok perempuan yang berkelana kemana-mana itu? Sudahkah kalian tahu ceritanya?
Radang otak menggerogoti kepalanya. Gambar-gambar indah dari timur itu diunggah setiap hari bersamaan dengan selang-selang infus mengalirkan obat ke tubuhnya.
Untuk mengenang perjalanan-perjalanan yang pernah dilakukannya, sambil berbaring di ranjang rumah sakit, ia mengunggah dan menuliskan kisah bermakna tentang perjalanannya.
Dari mana ia mendapatkan uang untuk menjelajah? Ia resign dari bekerja lalu menggunakan uang tabungannya untuk melihat tanah air tercinta. Ia melakukan itu tepat satu tahun sebelum dokter memberikan diagnosa atas sakit kepala yang kerap menderanya.
Oh, para tetangga yang aku ingin pinjam sepatunya. Rupanya, rupanya.
Sepatu kalian sama usangnya dengan yang kupakai. Sama bagusnya dengan yang kupakai. Sama nyamannya dengan yang kupakai. Sama sobeknya dengan yang kupakai.
Semua tergantung bagaimana cara aku memaknai rasa kebersyukuran.
Tetapi tahukah wahai tetangga, bahwa bersyukur itu bukan dengan merasa 'sepatuku jadi tampak lebih bagus dan terasa lebih nyaman ketika melihat orang yang tidak memiliki kaki untuk memakai sepatu'.
Bersyukur itu tidak dengan jalan melihat orang yang lebih buruk keadaannya dari kita. Karena jika iya, itu schadenfreude bukan bersyukur.
Merasa bersyukur dengan anak-anak yang kita miliki setelah melihat keluarga lain yang anak-anaknya cacat bukan bersyukur tetapi schadenfreude.
Bersyukur tidak muncul dengan jalan memperbandingkan milik kita dengan orang lain.
Jika masih begitu, kita selalu butuh pembanding untuk bisa bersyukur. Apakah itu cara bersyukur yang dimaksud Tuhan?
Coba pinjam dan kenakan sepatu usang milik orang.
Karena dari sepatu usang milik orang, aku paham :
Tanpa disadari, ketika aku menginginkan kehidupan milik orang lain. Itu berarti juga, aku sedang meminta agar dalam hidupku terdapat :
1. Dosa-dosa yang orang lain lakukan.
Aku tidak sedang menuduh. Tetapi adakah orang hidup tanpa berbuat dosa?
Sanggupkah memikul beban dosa yang sama?
2. Kerja keras yang mungkin tak sanggup kulakukan, bahkan untuk membayangkannya saja aku belum tentu bisa, jika menjadi mereka.
Sanggupkah bekerja sama kerasnya seperti mereka yang kamu inginkan hidupnya?
3. Masalah-masalah hidup yang mungkin tak dapat kutanggung meski hanya terciprat seujung kuku saja, seandainya aku di posisi mereka.
Sanggupkah menghadapi dan menyelesaikannya?
4. Sakit yang mereka derita, airmata yang tumpah, atau mungkin darah yang menetes.
Sanggup?
Jujur aku belum pandai bersyukur karena caraku bersyukur kadang kala masih dengan cara melihat yang lebih buruk atau dengan melongok yang berada di bawahku.
Belum dengan cara : Ini hanya tentang aku dan anugerah Tuhan untukku. Aku merasa cukup dengan apa yang Tuhan berikan untukku. Aku merasa semua ini sudah tepat untukku, sesuai porsiku, sesuai yang Tuhan kehendaki untukku. Tanpa perlu memperbandingkannya dengan milik orang lain.
Kalau bersyukurku masih belum fokus. Masih karena melihat kiri dan kanan. Artinya ya, aku belum bersyukur.
Oh hai para tetangga yang tinggal di dalam layar, sebut saja LCD, OLED, AMOLED, Retina, yang setiap hari bisa kupandangi kehidupannya meski sebelumnya kita tidak pernah berjabat tangan.
Salam kenal, ini realita.
Bener mba Nia. Bersyukur ga harus dengan membandingkan milik orang lain. Yg penting dari dalam diri sendiri, biar tetap bersyukur bagaimana pun keadaan saat ini.
ReplyDeleteDulu waktu masih SMA, aku sering banget merutuki nasibku yg lahir dari keluarga ga punya. Mau beli apa2 ga bisa karena bapak ibu ga punya uang, aku merasa iri sm temen2ku yg anak orang kaya. Tapi sekarang, aku malah bersyukur terlahir dari keluarga ga punya, karena menjadikan aku sbg manusia pejuang, yg kuat dan terbiasa dengan kerja keras
ReplyDeletesetuju mbak, memang harus seimbang, melihat ke bawah biar lebih banyak bersyukur, tapi bisa melihat ke atas sebagai motivasi juga.
ReplyDeleteHuhuhuhu...bener banget kadang kita cuma lihat bagian enaknya aja, padahal kita nggak tau apakah mereka bahagia atau tidak. Jadi lebih baik mensyukuri apa yang ada dan live to the fullest
ReplyDeleteTrims mbaa...artikel bagus sekali dan mencubitku. Ya Allah, sungguh ku malu belum mampu bersyukur dg sebenar-benarnya bersyukur. Tapi hidup adalah proses..insyaAllah aku akan terus berusaha berproses utk jadi lebih baik..
ReplyDeleteMari selalu saling mengingatkan, untuk wajib mengedepankan rasa bersyukur di warna warni kehidupan kita.
ReplyDeleteBismillah, aamiin.
Wah ilmu baru ini. Makasih ya mba Nia. Bersyukur dengan tidak membandingkan dengan yang terjadi dengan orang lain. Noted.
ReplyDeleteBersyukur selalu dengan apa yang sudah kita capai. Keluarga yang sehat, badan sehat, teman-teman yang baik. Terima kasih mbak Nia. Sukses selalu
ReplyDeleteAaah... sungguh kutertampar dengan artikel ini. Kadang-kadang bangga pada diri sendiri bisa bersyukur dengan kondisi yang kumiliki. Padahal ada schadenfreude juga yang menyempil seiring hembusan napas iblis dari dalam diri. Duuhhh... semoga habis ini bersyukurku benar-benar bersyukur tanpa perlu pembanding.
ReplyDeleteterpaan media sosial sekarang ini memang bisa bikin kita mudah membandingkan ya. jangankan ke diri sendiri, kadang perbandingannya pun sama-sama orang lain. kalo dah muncul rasa-rasa begitu, pokoknya aku kudu banyak-banyak baca istighfar, atine kudu bakoh hehe
ReplyDeleteTetampol dengan tulisan Mbak Nia. Thank you Mbak.. ��
ReplyDeleteAku juga masih sering bersyukurnya karena melihat yang di bawah ���� intinya masih belajar bersyukur bahwa yang dikasih ini adalah yang paling tepat dan terbaik untukku