Kisah Perjalanan
Kuliner
Papuma : Sihir Pantai Putih Malikan Di Desa Lojejer Kabupaten Jember
Papuma, sungguh sepenggal kata yang terdengar unik dan eksotik. Mengejanya membuat saya membayangkan sebuah kota nan jauh di ujung timur Indonesia. Tetapi Papuma ternyata tidak sejauh angan untuk bisa sampai ke sana. Kurang lebih hanya 605 kilometer dari Semarang. Namun, tanpa campur tangan teman-teman di Komunitas Blogger Jember Sueger dan undangan dari Dinas Pariwisara Kabupaten Jember, saya mungkin tidak akan bisa merasakan sihir Pantai Putih Malikan yang ada di Desa Lojejer Kabupaten Jember.
Jember sesungguhnya bukan kota yang terlintas di angan untuk saya datangi. Justru karena tidak memiliki ekspektasi apapun tentang kota ini, saya justru menemukan bahwa ternyata : Jember itu punya udara yang relatif sejuk, sebelumnya saya mengira udara Jember itu panas. Pantas saja nama komunitas blogger di sana memakai embel-embel kata 'sueger'.
Beberapa 'ternyata' lainnya yang saya temukan tentang kota yang dekat dengan Probolinggo dan Bondowoso ini nyatanya membuat saya mulai menyadari bahwa Indonesia sunguh-sungguh kaya. Kaya budaya, tradisi, juga pantai-pantai yang cantik tak terduga. Papuma salah satunya.
Perjalanan ke Papuma bisa dibilang perjalanan darat terpanjang saya selama tahun 2019 ini, meski iya sih, tahun 2019 belum habis, dan semoga masih ada kesempatan dan rezeki untuk menjelajah lagi. Tapi bisa dibilang inilah perjalanan darat terlama setelah sebelumnya road trip mengelilingi Pulau Bali di tahun 2018 lalu.
Sabtu pagi di tanggal 22 Juni 2019, saya dan Uniek Kaswarganti, founder dari Komunitas Blogger Gandjel Rel di Semarang, bertolak dengan kereta api menuju Stasiun Pasar Turi. Ini kali kedua saya melakukan perjalanan dengan kereta bersama Mba Uniek, sebelumnya dua tahun lalu kami sama-sama satu kereta menuju Pekalongan. Jaminan obrolan dan curcolan yang
Buat kalian yang memutuskan untuk ke mencapai Jember dari Semarang, inilah rute kereta yang harus kalian tempuh :
Dari Stasiun Poncol Semarang, naik kereta Ambarawa Express. Kereta ini berangkat pukul 08:00 dan akan sampai di Stasiun Pasar Turi, Surabaya pukul 12.24. Sepanjang perjalanan, kereta akan berhenti di Tawang, Ngrombo, Kradenan, Randublatung, Cepu, Bojonegoro, Babat, dan kalau sudah sampai Lamongan kita bisa menarik napas agak lega karena akan segera sampai di stasiun terakhir, yaitu Pasar Turi.
Setelah sampai di Pasar Turi, kami mesti bergegas menuju ke Stasiun Surabaya Gubeng untuk naik kereta Sri Tanjung yang akan berangkat pukul 14:00 dan rencananya akan tiba di Jember pukul 18:02. Sayang jadi ngga sempat menikmati keindahan taman-taman cantik yang digagas Bu Risma. Yang menarik, perjalanan dengan kereta dari Stasiun Gubeng menuju Jember ini membelah area perkotaan, jadi sedikit-sedikit dari kaca jendela bisa juga menikmati Kota Surabaya.
Perjalanan dengan kereta akan berakhir selepas senja, tapi karena tujuan pertama kami adalah menuju ke Pantai Papuma, maka kami akan turun di sebuah stasiun kecil yang bersih dan cantik, Rambipuji. Di Stasiun Rambipuji, personil bertambah menjadi empat orang : ada Dini Lintang dari Semarang yang naik kereta yang sama tetapi tidak segerbong, dan ada juga Mba Noorma, Blogger dari Pekalongan.
Kesan pertama terhadap Stasiun Rambipuji dan suasananya membuat 'feeling' saya berkata bahwa familirization trip kali ini pasti menyenangkan. Entah gimana menjelaskannya, mungkin perpaduan udara yang sejuk, stasiun yang tertata rapi, dan orang-orang yang ramah menjadi gerbang pembuka 'feeling' tadi.
Sambil menunggu jemputan, kami menunggu di sebuah jalan, tidak jauh dari sana ada warung makan yang menyajikan Soto Lamongan, dari neon sign kuningnya, dan jumlah pengunjung yang datang, saya bisa membayangkan semangkuk Soto Lamongan yang hangat dan lezat. Sayangnya, kami nggak sempat mencicipi soto tersebut karena tidak lama kemudian, kami sudah dijemput oleh Bima dan seorang driver, lupa namanya siapa. Kehadiran mereka membuat keramahan dan kehangatan Jember bertambah berkali-kali lipat.
Hal-hal kecil seperti ini sangat penting untuk diperhatikan bagi pengelola sebuah destinasi wisata karena kesan pertama sangat berarti, maka biasanya pengunjung bisa mulai merasakan kenyamanan ketika hadir di sebuah destinasi wisata sejak bersentuhan dengan faktor manusianya, salah satunya adalah dengan adanya keramahan. Tanpa berkata 'Selamat datang di Jember', kami merasa disambut dengan sangat baik.
Perjalanan dari Rambipuji menuju kawasan Pantai Papuma dijadwalkan sekitar satu jam karena akan ada kemacetan. Sebenarnya sih, macetnya nggak seberapa kalau dibandingkan macet di Semarang. Iringan lagu, candaan hangat, dan rasa lapar mewarnai perjalanan menuju ke kawasan Pantai Papuma. Saya pribadi, dan mungkin juga teman-teman yang lain tidak begitu memperhatikan rute mana saja yang harus ditempuh untuk sampai di Papuma.
Hanya saja, menurut beberapa sumber beginilah rute untuk sampai di Pantai Papuma Jember :
Jarak Papuma dari Kota Jember itu sekitar 40 kilometer menuju ke arah selatan. Kira-kira kalau naik mobil atau motor butuh waktu satu setengah jam untuk sampai ke Pantai Papuma, ini kalau nggak macet ya.Ada tiga rute untuk menuju Pantai Papuma. Pertama, rute yang berada di sisi selatan Gunung Watangan, sekitar 3 kilometer dengan kondisi jalan yang belum beraspal, namun bisa langsung menuju ke loket masuk. Jalur ini cukup lebar sehingga dapat diakses oleh pengunjung yang menggunakan mobil. Akan tetapi, jalur ini cukup berbahaya terutama saat hujan karena rawan longsor.
Rute kedua bisa dengan melewati Pantai Watu Ulo, Kecamatan Ambulu. Kalau lewat rute ini maka kita harus masuk dulu ke Pantai Watu Ulo, dan bayar tiket masuknya juga, barulah setelah itu bisa sampai ke Pantai Papuma. Hal ini bisa menjadi catatan bagi pihak pengelola, apakah pegunjung keberatan atau tidak jika harus membayar dua kali.
Rute ketiga, diperuntukkan bagi yang suka akan tantangan, yaitu melalui pusat Kecamatan Wuluhan sejauh 10 kilometer dengan perkiraan waktu tempuh 30 menit menuju loket Pantai Papuma. Sekitar 3 kilometer dari pusat kecamatan, kita akan menemukan Desa Ampel dan terus hingga sampai di pertigaan paling selatan, lalu belok kiri hingga sampai Dusun Pomo. Selanjutnya, baru menuju ke selatan, yaitu menuju Hutan Grintingan atau Gunung Watangan. Rute ini hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua, jadi bisa dipastikan malam itu kami nggak lewat sana.
Perjalanan yang kami tempuh dilalui dengan menggunakan Mobil Hiace, suasana gelap juga membuat saya tidak begitu bisa mengecek bagaimana kondisi signage menuju ke lokasi sehingga tidak bisa memberi skor untuk fakor aksesbilitas ke lokasi pantai. Seperti kita tahu, tentunya faktor aksesbilitas dari 3A lainnya menjadi faktor penting keberhasilan promosi sebuah destinasi wisata.
Baiklah karena malam itu kami gagal makan Soto Lamongan dan lapar sudah melanda, maka begitu sampai di resor yang dikelola oleh Perhutani perhatian langsung tertuju pada ikan bakar dan kawan-kawannya. Hmmm, nggak ding, yang pasti langsung mencari-cari wajah familiar yang tampak bahagia malam itu. Senang rasanya melihat kembali teman-teman blogger dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di aula, makan bersama, dan bercengkrama dengan staf dari Dinas Pariwisata Kabupaten Jember.
Kami langsung menghampiri wajah-wajah familiar yang sudah lama tak bersua; memeluk; bersalaman: ada Mba Nunik dari Jakarta, Buncha, Mas Belalang, Dik Faisol, Mbak Donna ( kalau ini saya baru pertama kali berjumpa, tapi udah diam-diam kagum melihat aktivitas beliau di jagat maya), Hanum ( temen beasiswa bengkel Dewan Kesenian Jakarta, yang setelah sepuluh tahun lamanya baru bisa ngetrip bareng lagi), dan siapa lagi yaa...maaf kalau lupa kesebut karena malam itu aroma ikan lebih menggoda, eh. Yang pasti ada juga wajah-wajah baru yang baru pertama kali bertemu malam itu.
Selesai menikmati santap makan malam dan acara perkenalan kami pun kembali ke kamar masing-masing yang ada di Foresta Resort Tanjung Papuma. Rasa hati ingin bercengkerama lebih lama, tetapi rasa kantuk dan lelah yang mendera juga janji ingin merasakan perubahan langit yang menaungi Tanjung Papuma dari masih gelap hingga pagi tiba, membuat saya memilih untuk segera beristirahat di kamar.
Foresta Resort Tanjung Papuma adalah salah satu pilihan penginapan yang lokasinya paling dekat dengan pantai Tanjung Papuma.
Akses menuju pantainya tinggal berjalan ke bagian depan resor, dan kita langsung berada di bibir pantai. Foresta Resort Tanjung Papuma ini dikelola oleh Perhutani. Menurut informasi dari pengelola, terdapat beberapa tipe kamar yang tarifnya dipatok berbeda-beda untuk hari biasa maupun akhir pekan.
Ada beberapa tipe kamar yang ada di Foresta Resort Tanjung Papuma. Masing-masing menawarkan fasilitas yang berbeda-beda. Jati, tipe paling besar ini misalnya dilengkapi dengan AC, televisi, 1 tempat tidur double size atau king size, kamar mandi dalam, kulkas, serta air panas dan dingin. Ada juga beberapa tipe lainnya yang dinamakan sesuai dengan nama-nama pohon, yang menurut perkiraan saya sih, tumbuh mengelilingi kamar-kamar resor tersebut, misalnya Rimba, Mahoni, Jabon, dan Kajang. Ada juga tipe Sengon dan Nusa Barong yang bisa disewakan satu rumah.
Secara aksesbilitas, Foresta Resort Tanjung Papuma bisa dibilang sangat oke karena sangat dekat dengan pantai Tanjung Papuma sebagai objek atraksi wisata. Di pagi hari, kita bisa bangun sebelum matahari terbit dan melihat langsung aktivitas nelayan menurunkan muatannya. Hanya saja, faktor amenitas resor ini masih perlu banyak perhatian.
Lokasi yang sebenarnya strategis, hutan yang mengelilingi disertai daya tarik serta pengalaman menginap di tengah hutan rimba yang dekat dengan pantai akan semakin terasa berkesan apabila fasilitas yang ada di area resor dijaga dan dirawat dengan lebih baik.
Apalagi resor ini juga menyajikan makanan khas yang enak dan mengundang selera. Mulai dari pecel jantung pisang, aneka gorengan, hidangan berbahan seafood yang segar, semua diolah dengan bumbu yang pas mengoda lidah. Semoga ke depannya faktor amenitas ini semakin diperhatikan oleh pengelola.
Pagi Pertama Tersihir Si Putih Malikan di Tanjung Papuma.
Foto-foto lainnya bisa disimak di Instagram, ya |
Kabar buruk, ujar Dini ketika mengabarkan kalau besok pagi kami tidak akan bisa melihat sunrise, begitu kira-kira katanya ketika saya janjian untuk bangun pagi-pagi sekali demi menyaksikan matahari terbit. Pasalnya posisi bibir pantai yang kami datangi besok arah timurnya terhalang oleh bukit, jadi kita nggak bakal bisa menyaksikan sunrise sepenuhnya. Apalagi posisi pantai memang menjorok ke arah barat daya.
Tapi hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk bangun lebih pagi. Setengah lima saya dan Mba Uniek sudah berlari-lari dari arah hutan menuju ke pantai. Dan di sana rupanya sudah banyak yang menunggu-nunggu sedikit terang agar aktivitas nelayan dapat tersibak dan terekam kamera. Ada Masdito yang sudah menancapkan tianglayar tripodnya di pasir, ada Ilham yang kalau ngga salah lihat sedang ngelamunin apa pagi-pagi buta gitu, juga Mas Belalang Cerewet yang pagi buta itu terlihat pendiam, mungkin mulai terkena sihir Papuma.
Kecantikan Papuma terletak pada bibir pantainya yang landai, pasir putih yang lembut, dan lokasi yang dikelilingi hutan dengan beragam flora dan fauna tropis. Pagi itu juga saya baru tahu kalau hutan di sekitar resor juga dihuni oleh kawanan kera.
Keindahan panorama pantai dengan paduan pasir putih dan bebatuan karang yang mirip kerang berjajar sepanjang pantai bakal semakin terasa menyihir kalau dinikmati dari Bukit Siti Hinggil. Sayang, saya dan rombongan yang terakhir datang ngga sempat naik ke bukit tersebut.
Tapi ketidakhadiran itu terbayar dengan menyaksikan aktivitas nelayan yang menurunkan muatan berupa tangkapan ikannya. Semakin matahari bersinar terang, semakin tersibak kecantikan Tanjung Papuma. Pasir pantainya yang halus, warna air laut yang biru kehijauan, deretan hijau flora di pinggir pantai, juga pada akhirnya dari balik bukit kami bisa menyaksikan matahari terbit dari kejauhan.
Suasana semakin memikat ketika nelayan-nelayan beristirahat sambil membakar ikan dan menawari kami untuk mencicipi ikan-ikan hasil tangkapan yang dibakar langsung di tepi pantai. Tanpa bumbu apa-apa, rasa asin gurihnya berasal dari air laut, dan rasa manisnya berasal dari kebersamaan dan tawa yang tercipta kala Buncha berulang kali meminta tambahan ikan bakar untuk dimakan bersama.
Rasa lapar pun terbit seketika ketika dipancing rasa gurihnya ikan, hingga makan besar pun dilanjutkan pada saat sarapan pagi di restonya. Hidangan khas seperti soto, rawon, aneka gorengan,
dan pecel sayuran menunggu untuk disantap. Sarapan pagi pun semakin terasa menyenangkan karena diiringi dengan berbagai celetukan dan candaan dari kawan-kawan blogger.
Selepas sarapan, kami semua kembali ke kamar untuk bersiap-siap melanjutkan ke destinasi berikutnya. Dalam perjalanan bermobil menuju Festival Waton, sekali lagi kami tersihir oleh keindahan Pantai Tanjung Papuma. Dari pinggir jalan, kami menikmati sisi lain Papuma dari ketinggian. Ombaknya memang sedang ganas, memecah karang yang dinamai Malikan.
Bebatuan karang Pantai Papuma di Jember memiliki nama masing-masing. Ada Karang Dampar Kencana, Kodok, Genteng, Kajang, Narada, dan Kresna. Namun, Ada juga yang menyebutnya dengan nama lain seperti Nusa Barong, Batara Guru, Kresna. Banyak kisah mistis dan sejarah yang melatarinya. Sayang, belum banyak kisah sejarah yang berhasil dimamah ketika hadir di Tanjung Papuma, mungkin saat itu masih terperangah oleh kecantikannya.Tapi hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk bangun lebih pagi. Setengah lima saya dan Mba Uniek sudah berlari-lari dari arah hutan menuju ke pantai. Dan di sana rupanya sudah banyak yang menunggu-nunggu sedikit terang agar aktivitas nelayan dapat tersibak dan terekam kamera. Ada Masdito yang sudah menancapkan tiang
Kecantikan Papuma terletak pada bibir pantainya yang landai, pasir putih yang lembut, dan lokasi yang dikelilingi hutan dengan beragam flora dan fauna tropis. Pagi itu juga saya baru tahu kalau hutan di sekitar resor juga dihuni oleh kawanan kera.
Keindahan panorama pantai dengan paduan pasir putih dan bebatuan karang yang mirip kerang berjajar sepanjang pantai bakal semakin terasa menyihir kalau dinikmati dari Bukit Siti Hinggil. Sayang, saya dan rombongan yang terakhir datang ngga sempat naik ke bukit tersebut.
Tapi ketidakhadiran itu terbayar dengan menyaksikan aktivitas nelayan yang menurunkan muatan berupa tangkapan ikannya. Semakin matahari bersinar terang, semakin tersibak kecantikan Tanjung Papuma. Pasir pantainya yang halus, warna air laut yang biru kehijauan, deretan hijau flora di pinggir pantai, juga pada akhirnya dari balik bukit kami bisa menyaksikan matahari terbit dari kejauhan.
Suasana semakin memikat ketika nelayan-nelayan beristirahat sambil membakar ikan dan menawari kami untuk mencicipi ikan-ikan hasil tangkapan yang dibakar langsung di tepi pantai. Tanpa bumbu apa-apa, rasa asin gurihnya berasal dari air laut, dan rasa manisnya berasal dari kebersamaan dan tawa yang tercipta kala Buncha berulang kali meminta tambahan ikan bakar untuk dimakan bersama.
Rasa lapar pun terbit seketika ketika dipancing rasa gurihnya ikan, hingga makan besar pun dilanjutkan pada saat sarapan pagi di restonya. Hidangan khas seperti soto, rawon, aneka gorengan,
dan pecel sayuran menunggu untuk disantap. Sarapan pagi pun semakin terasa menyenangkan karena diiringi dengan berbagai celetukan dan candaan dari kawan-kawan blogger.
Berpose di depan kapal-kapal nelayan yang baru selesai menurunkan muatan di Tanjung Papuma Jember |
Muka-muka bahagia habis 'malak' ikan bakar milik nelayan di belakang kita itu |
Selepas sarapan, kami semua kembali ke kamar untuk bersiap-siap melanjutkan ke destinasi berikutnya. Dalam perjalanan bermobil menuju Festival Waton, sekali lagi kami tersihir oleh keindahan Pantai Tanjung Papuma. Dari pinggir jalan, kami menikmati sisi lain Papuma dari ketinggian. Ombaknya memang sedang ganas, memecah karang yang dinamai Malikan.
Dan perjalanan baru saja akan dimulai.... |
Dalam perjalanan pun kami melewati pantai-pantai lain yang juga menawarkan keindahan, ada Pantai Payangan, Pantai Watu Ulo yang masih satu garis, dan Teluk Love. Jadi, Papuma bukan satu-satunya pantai yang akan membuat kita tershir ketika berkunjung ke Kabupaten Jember.
Menyaksikan keindahan tersebut dari kejauhan, diam-diam dalam hati saya tahu bahwa perjalanan baru saja dimulai.
Jember bikin sulit moveon ya Bu, keren banget pantainya, kulinernya juga uenak. Pengin balik ke sana jadinya kan? Betul-betul mengesankan. Lengkap deh wisata budaya dan wisata alamnya cakep!
ReplyDeleteBalik lah, situ kan deket...hehehe, dari Lamongan mah cuma beberapa jam doang, ya.
DeleteAku baru tahu ada pantai Papuma di Jember sebagus ini mbak..Jember juga enak-enak ya kulinernya..aku kalau mudik ponorogo abis lahiran nanti pengen ke Jember jadinya heuheu..
ReplyDeleteAku g disebut, padahal kita malak ikan bareng lho..
ReplyDeleteHahah..
Asli keren ya papuma itu...
Jember? belum pernah ke sana, hiks. Tahunya hanya ada Universitas Negeri Jember, mb :) Tak apalah, lihat dulu dari foto-fotonya mb Nia. Segeeer emang! :)
ReplyDeleteBumil... masyaALlah asyik banget famtrip-nya :)
ReplyDeleteAKu belum pernah loh ke Jember, dan aku tahunya seperti Mba Nia sebelum ke sana. salah ya berarti.
Trus jadi kebayang makan ikan di pinggir pantai... sedapnyooo
Asyik banget pikniknya ya, pengen daftar tapi mikir tanggal segitu masih di Bogor..semoga tahun depan bisa daftar ya..
ReplyDeleteSubhanallah ..cantiknya Papuma .Melihat fotonya pun ku sudah tersihir mba..hehe.. Semoga berkesempatan ke sini juga. Aamiin..
ReplyDeleteAku pernah ke sini dan emang cantik banget pantainya. Senang ya bisa menikmatinya sambil kopdar sama temen2 bloger.
ReplyDeleteHiks aku cuma bisa nyawang. Pantainya bagus banget emang dari kapan lihat di Youtube temen
ReplyDeleteAku udah dipameri mas sepupuku eh ini ditambahi foto-foto dari Nia. Kaaan makin mupeng kesini, entah kapan nih kesananya. Nunggu tol jadi kali ya, katanya bakal ada tol sampe ke Banyuwangi kan
ReplyDeleteMasyaallah cantiknyaaa Indonesia yaa... Pantai Papuma seperti magnet, menarik untuk ke sana ih..
ReplyDeleteSenang sekali bisa jalan bareng bumil cantik yang satu ini. Selalu ada yang bisa dibahas ya kalau bepergian cukup lama gini. Buat aku yang sulit tidur, lumayan lah ada temen diskusi selama perjalanan.
ReplyDeleteSetuju banget. Jember memang terlalu memesona untuk dinikmati selama 3 hari saja. We want moreeee... ;)
Seru banget siiy trip kalian, aku memandang iri dari IG stories huhuhu. Mungkin tahun depan baru bisa ikut2 event kek gini.
ReplyDeletePapuma pantainya keren ya mba. Tapi kemarin berasa blm puas karena cuma sebentar aja dan blm basah-basahan. Hehe...
ReplyDelete