Fiksi
Kakek Tua & Minotaur
Aelous, aku tiba-tiba kehilangan kekuatan untuk menyusuri jalan yang sudah kupilih selama ini.
Tadi malam aku bangun dari mimpi yang menurutku sangat buruk. Aku mimpi terbangun sebagai kakek tua yang lupa dengan apa yang sudah dilakukannya di masa muda. Kakek itu begitu menyesal mengapa sewaktu muda ia tak belajar buang air mengunakan pispot. Akibatnya saat ia sakit tua, dan hanya bisa berbaring di tempat tidurnya, ia mengencingi sprei putih di atas kasurnya yang berada di kamar kelabu berlampu remang-remang.
Tadi malam aku bangun dari mimpi yang menurutku sangat buruk. Aku mimpi terbangun sebagai kakek tua yang lupa dengan apa yang sudah dilakukannya di masa muda. Kakek itu begitu menyesal mengapa sewaktu muda ia tak belajar buang air mengunakan pispot. Akibatnya saat ia sakit tua, dan hanya bisa berbaring di tempat tidurnya, ia mengencingi sprei putih di atas kasurnya yang berada di kamar kelabu berlampu remang-remang.
Di masa muda ia tak pernah tahu bahwa buang air kecil, bahkan besar, di atas pispot sangat menyulitkan. Ia sungguh menyesal karena akhirnya harus merepotkan seorang suster muda yang susah payah mengulingkan tubuh rentanya agar pantatnya dapat diseka. Kakek itu, yang mana jiwanya kumasuki berkata pada si wanita muda, entah siapa, begini,
“Kamu, wanita muda, belajarlah buang air kecil di pispot. Jika waktumu luang coba juga buang air besar.” Selesai mengatakan itu aku bangun dan berkeringat. Aku buru-buru berlari ke arah cermin untuk melihat wajahku dan bersyukur karena kulit mukaku belum mengelambir dan rambutku belum bersalur kelabu. Aku meraba celanaku. Aku tidak pipis di celana.
“Kamu, wanita muda, belajarlah buang air kecil di pispot. Jika waktumu luang coba juga buang air besar.” Selesai mengatakan itu aku bangun dan berkeringat. Aku buru-buru berlari ke arah cermin untuk melihat wajahku dan bersyukur karena kulit mukaku belum mengelambir dan rambutku belum bersalur kelabu. Aku meraba celanaku. Aku tidak pipis di celana.
Tapi mimpi itu membuat hari-hariku murung belakangan ini, Al. Aku tak tahu kenapa. Tiba-tiba saja aku mulai merasakan gelegak aneh tiap kali memikirkan apa yang akan terjadi dengan diriku di masa yang akan datang.
Al, menurutmu apakah aku sedang berjalan mengikuti arah mimpiku atau aku sekedar tersesat di dalam labirin yang kuciptakan sendiri. Bahkan kini tak lagi kuyakini mimpi itu. Aku benar-benar tersesat dan tak tahu harus berjalan ke arah mana.
Keinginan itu mengganjalku sekian tahun. Bukan waktu yang sedikit. Aku jadi tak melakukan apa-apa selain berusaha mewujudkan keinginan itu. Bagi sebagian orang katanya aku ini buang-buang waktu.
Keinginan itu mengganjalku sekian tahun. Bukan waktu yang sedikit. Aku jadi tak melakukan apa-apa selain berusaha mewujudkan keinginan itu. Bagi sebagian orang katanya aku ini buang-buang waktu.
Dulu aku memiliki keyakinan kuat bahwa aku bisa meraih mimpiku. Tapi kini aku nyaris menyerah. Aku lelah. Terlalu lelah. Bahan bakarku nyaris habis. Dan aku berdiri di tengah-tengah labirin, kedinginan.
Kau tahu, kan? Ada Minotaur, lelaki setengah monster, di tengahnya. Sebentar lagi dia akan tahu aku sedang mondar-mandir di halaman istananya dan menganggu tidur siangnya. Dia akan merangsekku hidup-hidup. Mengoyak-ngoyak tubuhku. Aku akan jadi serpihan daging. Gagak-gagak hitam akan mengeremuniku. Sambil bercicit kematian mereka akan mengais-ngais serpihan dagingku.
Lalu, dari kejauhan orang-orang yang kusayangi tiba-tiba saja akan melihat awan gelap dan mengatakan bahwa itu sebuah firasat bahwa aku yang dulu mencium tangan mereka sebelum pergi, tak akan pernah kembali.
Al, tolong aku! Masihkah layak perjalanan ini kuteruskan? Apa yang kau lihat dari atas sana? Apakah aku berputar-putar tak karuan. Memutari kembali jejak lingkaran yang kubuat dan berkubang pada lubang bekas jejak kakiku?
Apakah hidupku akan berakhir seperti kakek tua itu? Mungkinkah kakek itu aku, Al. Dia tidak mati karena monster banteng itu. Dia lumpuh, Al. Aku benar-benar tak ingin ada besok. Sungguh. Aku takut.
Apakah hidupku akan berakhir seperti kakek tua itu? Mungkinkah kakek itu aku, Al. Dia tidak mati karena monster banteng itu. Dia lumpuh, Al. Aku benar-benar tak ingin ada besok. Sungguh. Aku takut.
Aku merasa seperti Ovid yang selalu berharap matahari tak lekas terbit
Stay, beauteous morning! For to lovesick maids and youths, how grateful are these dusky shades
Ah stay, and do not from the blushing east, with dawning glories break our balmy rest
.......
“Takdirmu, seperti Theseus, membunuh Minotour itu! Kau tidak seharusnya takut padanya!
Temukan Ariadne, ia akan memberimu segulungan benang. Bentangkan benang itu saat kau berjalan sampai ke jantung labirin itu. Lurus terus jangan belok kiri atau kanan. Begitu pesan Daedalus pada Ariadne. Nanti, benang itu bisa membawamu kembali pulang...”
“Takdirmu, seperti Theseus, membunuh Minotour itu! Kau tidak seharusnya takut padanya!
Temukan Ariadne, ia akan memberimu segulungan benang. Bentangkan benang itu saat kau berjalan sampai ke jantung labirin itu. Lurus terus jangan belok kiri atau kanan. Begitu pesan Daedalus pada Ariadne. Nanti, benang itu bisa membawamu kembali pulang...”
“Tunggu-tunggu, aku sudah tahu cerita macam itu. Bukankah gara-gara Ariadne, ayah Theseus, Aegeus, mati bunuh diri karena menyangka Theseus sudah mati? Ariadne mengutuk Theseus yang sudah meninggalkannya di Naxos dan membuat Theseus lupa untuk menganti layar kapalnya dari hitam menjadi putih dan ayahnya menyangka kapal berlayar hitam itu adalah pertanda bahwa Thesesus telah mati..”
“Kalau begitu jangan kau tinggalkan Ariadne-mu di Naxos bawa dia ikut serta denganmu.”
“Tapi bagaimana jika Ariadne memang tidak ditakdirkan hidup bersamaku dan aku harus meninggalkannya di Naxos?”
“Semudah itu. Bagaimana aku harus percaya kata-katamu...”
“Mudah saja, kau bisa memilih jadi kakek itu sekarang atau menjadi orang yang berbeda! Kalau mau mudah, kau bisa jadi kakek di mimpi itu saja, tapi mengapa buru-buru, toh kau juga belum berlatih buang air dengan pispot.”
“.....”
*Aelous: dewa angin.
No comments