Fiksi
Kiat Menulis
Telur, Peri, Merah Jambu.
[tiga kata itu adalah kata kunci untuk tugas cerpen pertama dari bengkel penulisan novel dkj 2009. dan saya pun berusaha untuk membuat tugas pertama tersebut.] ini cerpennya :
Aku lalu beranjak menuju dapur, yang harus kulakukan selanjutnya adalah membuat sarapan. Ini bukan semacam keharusan atau tipikalitas, tetapi detail inilah yang kusimpan di ingatan dan ini juga merupakan keinginannya. Jadi, apa salahnya benar-benar mewujudkan detail yang tersimpan di pikiran kita. Dan pasti dia pun akan sangat senang jika aku bisa mewujudkan impian sederhananya. Disiapkan sarapan di tempat tidur oleh seseorang yang dikasihinya.
Ketika membuka lemari es, perasaan gundah menyergapku. Seharusnya aku mempersiapkan diri sejak awal untuk menghadapi peristiwa semacam ini. Tapi, apa yang terjadi semalam memang sedikit di luar rencana. Jadi aku belum bersiap dengan isi lemari esku. Hanya ada telur ayam yang bisa diolah menjadi sarapan. Tidak ada roti tawar, bahkan mie instan. Lagipula santap pagi mie instan tidak sesuai dengan gambaran romantis yang tersimpan di pikiranku. Jadi tidak ada pilihan lain selain menghadapi si telur ayam ini.
Aku tahu ini terdengar bodoh, aku takut pada telur ayam. Bisa jadi ini semacam phobia. Ketakutanku terhadap telur hampir sama seperti seorang kanak-kanak yang takut terhadap peri gigi yang bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, yang di malam hari akan mengendap-endap, menakuti mereka. Pada tingkatan yang lebih ringan, ketakutanku ini bisa diumpamakan serupa keengganan seorang pria macho terhadap warna merah jambu yang dianggap kemayu.
Jadi bagaimana, tanyaku pada diriku sendiri. Akankah aku membuat sarapan berbahan telur ayam? Akankah aku menyentuh telur-telur itu? Jika saja si mbok sudah datang dari kampung, aku bisa memintanya memecahkan telur-telur itu tanpa aku harus menyentuhnya, lalu aku akan mengolahnya jadi omelet yang lezat. Tapi sekarang ini hanya ada aku dan telur-telur itu.
Apa yang akan terjadi jika aku menyentuhnya? Pasalnya melihatnya saja sudah membuatku bergidik dan merasa mual. Membayangkan kulitnya yang dingin dan rapuh membuat sebagian bulu kudukku berdiri. Kecemasan perlahan mulai menghinggapiku. Sementara waktu berdetak cepat. Aku harus segera memutuskan, akan membuat sarapan atau tidak, sebelum aku kehilangan momen yang serupa dengan detail di dalam pikiranku dan semua gambaran indah yang sudah kubangun akan hancur. Dan sebelum aku membuatnya kecewa karena tidak bisa memenuhi impian sederhananya, menikmati sarapan di atas tempat tidur.
Aku menarik nafas panjang. Menghitung setiap tarikan dan hembusan lalu kembali mengingat –ingat apa yang pernah dikatakan terapisku tentang menghadapi rasa takut yang tidak masuk akal ini. Aku tahu telur tidak berbahaya, itu hanya telur yang bahkan bisa kuremas dan kuhancurkan dalam sekepalan tangan. Itu tidak akan melukaiku. Aku bahkan bisa membuatnya menjadi santapan yang nikmat. Jadi mengapa manusia harus takut pada sesuatu yang bisa ia makan?
Aku terus menerus mengulang sugesti itu pada pikiranku. Terus dan terus sambil mengambil tisu dari meja makan untuk mengelap bulir-bulir keringat yang mulai muncul di dahiku. Aku mencoba mengerem semua alur pikiran negatif yang berjalan menuju otakku sambil terus mengatakan pada diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja ketika aku menyentuh telur itu. Saat sudah berhasil memegangnya yang perlu kulakukan hanyalah memecahkannya, mengaduknya dengan garpu, lalu telur itu akan berubah menjadi omelet pengambil hati kekasih tercintaku bukan lagi monster tak berkaki dan bertangan yang sering membangkitkan kenangan pahit masa kecilku.
Ketakutanku pada telur ayam memang bermula saat aku masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Saat itu sepulang sekolah, ketika aku baru saja menyebarang jalan, tiba-tiba di depanku ada sebuah truk bermuatan telur yang mengerem mendadak untuk menghindari mobil yang melintas di depannya. Saat mengerem mendadak itulah, tutup bak bagian belakang truk terbuka dan seluruh muatannya berhamburan menimpaku. Seluruh tubuhku tertimbun telur-telur yang hancur. Sejak peristiwa itu aku begitu membenci telur dan menganggapnya monster yang akan melukaiku dan membuatku bau.
Dari jendela dapur, sudah nampak larik-larik sinar matahari. Di kamar tempat ia tidur, matahari pasti sudah mulai mengintip dari celah gorden dan ia pasti akan segera terbangun karena silau. Waktuku semakin sedikit. Aku hampir mengambil keputusan yang menyimpang dari detail yang ada di pikiranku, lari ke depan komplek untuk membeli sarapan berupa bubur, ketika kudengar suaranya. Lembut dan meruntuhkan seluruh sugesti yang tadi sedang kubangun.
“Selamat pagi, kok kamu tidak membangunkanku?”
“Uhm, ya, itu karena aku sedang mempersiapkan sesuatu yang mungkin akan kamu sukai.”
“Ah, aku tahu. Apa itu sarapan pagi berupa bubur ayam Mang Jali yang terkenal enak itu? Sejak tadi malam, aku sudah membayangkan untuk sarapan itu. Makanya aku berharap bisa bangun sedikit lebih pagi dan menunggu Mang Jali lewat. Kelezatan bubur ayamnya sudah terdengar sampai ke daerahku.”
“Ah, ya. Jadi kamu mau bubur ayam dan bukan omelet?” tanyaku sambil menyeka beberapa bulir keringat yang masih menempel di keningku. “Aku baru saja berpikir untuk membelikanmu bubur, kalau memang itu yang kamu inginkan.” lanjutku.
“Ya, tentu saja. Bagaimana kalau kita yang kesana saja. Aku sudah lapar berat.” rajuknya.
“Kamu mau kita makan di sana? Bukan di sini atau di atas tempat tidur?”
“Ya, kenapa?” tanyanya. Pipinya bersemu merah jambu ketika menyadari bahwa aku akan mempersiapkan sarapan-di atas-tempat tidurnya.
“Uhm, itu sedikit di luar detail yang kupersiapkan. Tapi, baiklah jika memang itu yang kau inginkan.”
“Hei, berhentilah untuk selalu menuruti keinginanku. Jika kau lebih suka memasakkanku sesuatu yang istimewa aku tidak keberatan menunggumu memasak.”
“Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku baru saja mulai menyukai detail baru yang kau ciptakan itu. Ayo kita makan bubur ayam Mang Jali. Kau mau makan dengan apa? Apa kau suka taburan kacang, seledri dan bawang goreng secara bersamaan atau hanya salah satu dari semua itu? Kau mau makanan pelengkap apa? Sate ati ampela, telur puyuh?”
“Hei, tidak perlu bertanya sampai sedetail itu juga, kan. Kita lihat saja nanti, ok.” katanya sambil membulatkan kedua matanya. Dan aku pun mulai merasa telah menemukan orang yang tepat, yang bisa mengimbangiku. Dia benar-benar pasangan yang sesuai dengan detail yang kuharapkan.
Aku terbangun di sisi kanannya. Perlahan kuloloskan sebelah kakiku yang tertindih kakinya lalu beringsut bangun dari tempat tidur. Setelah meletakkan kembali bantal yang tadi kutiduri pada tempat yang semestinya kuluruskan kakinya yang tertekuk, lalu dengan telapak tangan kulicinkan keriput sarung bantal dan seprai bekas kutiduri. Kulipat juga separuh selimut yang tadi kugunakan bersamanya, sementara sisa selimut yang lain masih membungkus tubuhnya erat.
Aku memandangi tubuhnya yang masih tergolek di tempat tidur. Semuanya sudah persis sama seperti apa yang seharusnya. Tinggal membuka sedikit gorden agar nanti sinar matahari bisa menyusup masuk membangunkannya. Dan semuanya akan menjadi sempurna. Hangat dan terang seperti yang pernah kubayangkan.
Aku memandangi tubuhnya yang masih tergolek di tempat tidur. Semuanya sudah persis sama seperti apa yang seharusnya. Tinggal membuka sedikit gorden agar nanti sinar matahari bisa menyusup masuk membangunkannya. Dan semuanya akan menjadi sempurna. Hangat dan terang seperti yang pernah kubayangkan.
Aku lalu beranjak menuju dapur, yang harus kulakukan selanjutnya adalah membuat sarapan. Ini bukan semacam keharusan atau tipikalitas, tetapi detail inilah yang kusimpan di ingatan dan ini juga merupakan keinginannya. Jadi, apa salahnya benar-benar mewujudkan detail yang tersimpan di pikiran kita. Dan pasti dia pun akan sangat senang jika aku bisa mewujudkan impian sederhananya. Disiapkan sarapan di tempat tidur oleh seseorang yang dikasihinya.
Ketika membuka lemari es, perasaan gundah menyergapku. Seharusnya aku mempersiapkan diri sejak awal untuk menghadapi peristiwa semacam ini. Tapi, apa yang terjadi semalam memang sedikit di luar rencana. Jadi aku belum bersiap dengan isi lemari esku. Hanya ada telur ayam yang bisa diolah menjadi sarapan. Tidak ada roti tawar, bahkan mie instan. Lagipula santap pagi mie instan tidak sesuai dengan gambaran romantis yang tersimpan di pikiranku. Jadi tidak ada pilihan lain selain menghadapi si telur ayam ini.
Aku tahu ini terdengar bodoh, aku takut pada telur ayam. Bisa jadi ini semacam phobia. Ketakutanku terhadap telur hampir sama seperti seorang kanak-kanak yang takut terhadap peri gigi yang bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, yang di malam hari akan mengendap-endap, menakuti mereka. Pada tingkatan yang lebih ringan, ketakutanku ini bisa diumpamakan serupa keengganan seorang pria macho terhadap warna merah jambu yang dianggap kemayu.
Jadi bagaimana, tanyaku pada diriku sendiri. Akankah aku membuat sarapan berbahan telur ayam? Akankah aku menyentuh telur-telur itu? Jika saja si mbok sudah datang dari kampung, aku bisa memintanya memecahkan telur-telur itu tanpa aku harus menyentuhnya, lalu aku akan mengolahnya jadi omelet yang lezat. Tapi sekarang ini hanya ada aku dan telur-telur itu.
Apa yang akan terjadi jika aku menyentuhnya? Pasalnya melihatnya saja sudah membuatku bergidik dan merasa mual. Membayangkan kulitnya yang dingin dan rapuh membuat sebagian bulu kudukku berdiri. Kecemasan perlahan mulai menghinggapiku. Sementara waktu berdetak cepat. Aku harus segera memutuskan, akan membuat sarapan atau tidak, sebelum aku kehilangan momen yang serupa dengan detail di dalam pikiranku dan semua gambaran indah yang sudah kubangun akan hancur. Dan sebelum aku membuatnya kecewa karena tidak bisa memenuhi impian sederhananya, menikmati sarapan di atas tempat tidur.
Aku menarik nafas panjang. Menghitung setiap tarikan dan hembusan lalu kembali mengingat –ingat apa yang pernah dikatakan terapisku tentang menghadapi rasa takut yang tidak masuk akal ini. Aku tahu telur tidak berbahaya, itu hanya telur yang bahkan bisa kuremas dan kuhancurkan dalam sekepalan tangan. Itu tidak akan melukaiku. Aku bahkan bisa membuatnya menjadi santapan yang nikmat. Jadi mengapa manusia harus takut pada sesuatu yang bisa ia makan?
Aku terus menerus mengulang sugesti itu pada pikiranku. Terus dan terus sambil mengambil tisu dari meja makan untuk mengelap bulir-bulir keringat yang mulai muncul di dahiku. Aku mencoba mengerem semua alur pikiran negatif yang berjalan menuju otakku sambil terus mengatakan pada diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja ketika aku menyentuh telur itu. Saat sudah berhasil memegangnya yang perlu kulakukan hanyalah memecahkannya, mengaduknya dengan garpu, lalu telur itu akan berubah menjadi omelet pengambil hati kekasih tercintaku bukan lagi monster tak berkaki dan bertangan yang sering membangkitkan kenangan pahit masa kecilku.
Ketakutanku pada telur ayam memang bermula saat aku masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Saat itu sepulang sekolah, ketika aku baru saja menyebarang jalan, tiba-tiba di depanku ada sebuah truk bermuatan telur yang mengerem mendadak untuk menghindari mobil yang melintas di depannya. Saat mengerem mendadak itulah, tutup bak bagian belakang truk terbuka dan seluruh muatannya berhamburan menimpaku. Seluruh tubuhku tertimbun telur-telur yang hancur. Sejak peristiwa itu aku begitu membenci telur dan menganggapnya monster yang akan melukaiku dan membuatku bau.
Dari jendela dapur, sudah nampak larik-larik sinar matahari. Di kamar tempat ia tidur, matahari pasti sudah mulai mengintip dari celah gorden dan ia pasti akan segera terbangun karena silau. Waktuku semakin sedikit. Aku hampir mengambil keputusan yang menyimpang dari detail yang ada di pikiranku, lari ke depan komplek untuk membeli sarapan berupa bubur, ketika kudengar suaranya. Lembut dan meruntuhkan seluruh sugesti yang tadi sedang kubangun.
“Selamat pagi, kok kamu tidak membangunkanku?”
“Uhm, ya, itu karena aku sedang mempersiapkan sesuatu yang mungkin akan kamu sukai.”
“Ah, aku tahu. Apa itu sarapan pagi berupa bubur ayam Mang Jali yang terkenal enak itu? Sejak tadi malam, aku sudah membayangkan untuk sarapan itu. Makanya aku berharap bisa bangun sedikit lebih pagi dan menunggu Mang Jali lewat. Kelezatan bubur ayamnya sudah terdengar sampai ke daerahku.”
“Ah, ya. Jadi kamu mau bubur ayam dan bukan omelet?” tanyaku sambil menyeka beberapa bulir keringat yang masih menempel di keningku. “Aku baru saja berpikir untuk membelikanmu bubur, kalau memang itu yang kamu inginkan.” lanjutku.
“Ya, tentu saja. Bagaimana kalau kita yang kesana saja. Aku sudah lapar berat.” rajuknya.
“Kamu mau kita makan di sana? Bukan di sini atau di atas tempat tidur?”
“Ya, kenapa?” tanyanya. Pipinya bersemu merah jambu ketika menyadari bahwa aku akan mempersiapkan sarapan-di atas-tempat tidurnya.
“Uhm, itu sedikit di luar detail yang kupersiapkan. Tapi, baiklah jika memang itu yang kau inginkan.”
“Hei, berhentilah untuk selalu menuruti keinginanku. Jika kau lebih suka memasakkanku sesuatu yang istimewa aku tidak keberatan menunggumu memasak.”
“Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku baru saja mulai menyukai detail baru yang kau ciptakan itu. Ayo kita makan bubur ayam Mang Jali. Kau mau makan dengan apa? Apa kau suka taburan kacang, seledri dan bawang goreng secara bersamaan atau hanya salah satu dari semua itu? Kau mau makanan pelengkap apa? Sate ati ampela, telur puyuh?”
“Hei, tidak perlu bertanya sampai sedetail itu juga, kan. Kita lihat saja nanti, ok.” katanya sambil membulatkan kedua matanya. Dan aku pun mulai merasa telah menemukan orang yang tepat, yang bisa mengimbangiku. Dia benar-benar pasangan yang sesuai dengan detail yang kuharapkan.
No comments