Kiat Menulis
Gairah
Akhirnya, di antara reruntuhan kertas-kertas yang menggunung (oh lebaynya) dan meja yang sudah sedikit dilicinkan dari berbagai peranti pendistraksi, saya pun duduk manis dan merenung betapa lamanya saya tidak mengupdate blog ini.
Perenungan ini berujung pada itikad untuk kembali menghidupkan 'rumah' yang sudah seperti tidak disentuh penghuninya selama beberapa hari karena ia sibuk berjibaku di luar sana, pada rumah-rumah nomaden, kendaraan roda empat, kereta-kereta dan tempat-tempat yang jauh, yang bahkan baru kali itu saya dengar namanya, Lelea, Trusmi.
Oh, Tuhan dimanakah gerangan tempat itu berada? Dalam mimpi saya atau memang ada di dunia nyata. Yang jelas jika ada pun saya tak sempat berpijak di tanahnya lebih dari satu malam.
Baiklah, cukup sudah paragraf pembukanya.
Biarlah saya mulai memperkenalkan diri kembali pada rumah yang sudah saya tinggal cukup lama ini. Semestinya saya masih orang yang sama. Tapi, entah kenapa saya membiarkan kesibukan menggilas saya menjadi serupa emping yang pipih, nyaris tak lagi dikenali berasal dari biji melinjo berkulit merah yang nampak masif itu. Tapi pada dasarnya saya masih memiliki rasa yang sama. Hanya saja saat ini saya merasa terlalu pipih, tipis, dan rapuh. Dan terkadang terlalu pucat.
Biarlah saya mulai memperkenalkan diri kembali pada rumah yang sudah saya tinggal cukup lama ini. Semestinya saya masih orang yang sama. Tapi, entah kenapa saya membiarkan kesibukan menggilas saya menjadi serupa emping yang pipih, nyaris tak lagi dikenali berasal dari biji melinjo berkulit merah yang nampak masif itu. Tapi pada dasarnya saya masih memiliki rasa yang sama. Hanya saja saat ini saya merasa terlalu pipih, tipis, dan rapuh. Dan terkadang terlalu pucat.
Pipih karena belakangan nafsu makan saya mulai timbul tenggelam lagi. Makan baru enak saat disambi menyuapi si kecil Ezra, dan itu pun hanya bisa dilakukan pagi hari sebelum ngantor (terima kasih, Ezra, akhirnya ibu bisa sarapan), atau ketika saya sedang menginginkan makanan tertentu. Selebihnya, benar-benar malas.
Tipis lebih dikarenakan sudah hampir sebulanan lebih saya menjaga jarak dengan buku-buku bacaan. Rasanya seperti ketinggalan banyak hal. Saya seolah bertransformasi jadi buku panduan masak praktis yang tipis, bukan lagi sebuah buku bacaan yang gendut dengan isi menarik yang ketika nyaris sampai di halaman terakhir sangat sayang untuk dituntaskan.
Rapuh, karena saya mulai merasa mudah dihancurkan oleh pikiran-pikiran saya sendiri. Dan pucat karena sepertinya saya mulai diharuskan menyukai ruangan tertutup. Ah, yang ini terlalu basi untuk dituliskan.
Rapuh, karena saya mulai merasa mudah dihancurkan oleh pikiran-pikiran saya sendiri. Dan pucat karena sepertinya saya mulai diharuskan menyukai ruangan tertutup. Ah, yang ini terlalu basi untuk dituliskan.
Ya, mungkin kalimat-kalimat di atas cuma retorika. Atau basa-basi untuk menyelamatkan diri saya sendiri dari perasaan asing pada diri sendiri. Tapi bisa juga karena saya mulai menjauh dari apa yang seharusnya dan ingin saya kerjakan. Salah satunya adalah menulis. Dan membaca buku yang bagus.
Dan menulis blog ini dengan segala hal yang berhubungan dengan dunia kepenulisan dan hasil-hasil pemikiran setelah membaca buku-buku bagus. Yang semuanya menjadi salah satu sumber kebahagiaan sederhana saya. Dan karenanya saya mulai membenci diri sendiri karena tidak mampu meluangkan waktu untuk melakukan itu semua dengan dalih kesibukan.
Dan menulis blog ini dengan segala hal yang berhubungan dengan dunia kepenulisan dan hasil-hasil pemikiran setelah membaca buku-buku bagus. Yang semuanya menjadi salah satu sumber kebahagiaan sederhana saya. Dan karenanya saya mulai membenci diri sendiri karena tidak mampu meluangkan waktu untuk melakukan itu semua dengan dalih kesibukan.
Keinginan untuk kembali 'rajin' menata interior rumah ini dihidupkan dengan diterimanya saya sebagai salah satu peserta bengkel penulisan novel dkj 2009. Dengan begitu, mau tidak mau saya harus bisa menghargai tubuh saya sendiri yang sudah rela bersusah payah menempuh perjalanan Bandung-Jakarta selama 12 kali pertemuan (tersisa 11 pertemuan lagi, yang pertama 3 oktober kemarin) dengan membuat catatan atau apalah mengenai keikutsertaan saya tersebut. Sehingga 12 kali pertemuan itu tidak lalu menjadi sekedar sebuah perjalanan mondar-mandir tak karuan tetapi juga bisa mengembalikan semua gairah yang hilang.
Mengutip dan merangkum ucapan salah satu pengajarnya bengkel penulisan novel dkj 2009, A.S. Laksana, : "Adalah bagaimana kita menjaga gairah kita tetap menyala selama menjalani 12 kali pertemuan ini dan setelahnya. Menjaga gairah dan ritme agar kita dapat menyelesaikan dan menghasilkan sesuatu yang kita harapakan (novel, for sure!)"
Jadi ya, saya senang. Setelah marah-marah pada diri sendiri. Setelah pertemuan pertama itu, Alhamdulillah gairah saya kembali muncul. Buktinya, saya mulai menulis lagi, kan. :)
No comments