Fiksi
Bianglala Pasar Malam
Bukan roda gila atau rumah hantu yang akan kau datangi. makanya aku memilih untuk menaiki bianglala itu. seperti biasanya. saat itu kau pasti hanya akan duduk menungguku. di kursi hijau tua sambil menikmati kembang gula merah mudamu. atau sesekali melemparkan bulatan rotan pada botol-botol di ujung jalan. dan tentu saja membelikan balon gas yang nanti akan kuterbangkan.
tapi, malam itu tidak. kamu berdiri tepat di hadapan bianglalaku. entah apa yang sedang kau simak. derit-derit roda yang mulai berkarat. atau putarannya yang kian hari kian pelan. kamu menengadah ke atas sambil sesekali menjilati es krim yang kau gengam dengan tangan kanan. aku menatapmu dengan tatapan yang sama seperti hari-hari yang lalu. ketika kamu melambungkan bola ke dalam ring atau mencoba aneka permainan yang kekanak-kanakan. aku tahu kamu tahu. dan sepertinya kamu pun begitu. rasanya tidak perlu ada penjelasan. seperti halnya tidak perlu alasan mengapa pasar malam itu harus diadakan.
tapi malam itu sepertinya kamu ingin mengatakan sesuatu. entah apa. pasti sesuatu yang perlu diucapkan. bukan sesuatu yang hanya disimpan, seperti selama ini. jadi kamu menungguku di bawah bianglalaku yang berputar pelan. aku sendiri heran. mengapa kau tidak naik saja kesini. berputar bersama dalam lingkaran bianglalaku. tapi lalu kulirik bangku di sebelahku yang sudah bermuatan. dan aku mengerti. akan sulit mengatakan sesuatu yang perlu diucapkan jika kau duduk di bangku yang berbeda denganku. jadi aku hanya memandangimu dari atas sini. melihat es krimmu yang mulai melumer. dan matamu yang terpaku melihat putaran bianglalaku.
apa yang kau pikirkan? apa kamu menunggu giliran naik? apa kau tergesa-gesa untuk menyampaikan pesan? mungkin jika kau terbangkan beberapa balon gas kesini aku bisa menangkapnya. kamu bisa menyampaikan pesan dengan cara itu jika kau mau. tapi lalu kusadari setelah kau memberi pesan aku hanya bisa meneruskannya ke angkasa bukan kembali padamu. jadi kamu bergeming. cuma menatap putaran yang terus memelan. mungkin menungguku turun. mungkin berharap saat kau naik nanti aku akan ikut bersamamu. tapi tidakkah kau membaca tulisan di depan, setiap orang hanya punya satu giliran.
ketika bianglala itu benar-benar berhenti. kau segera menghentak. merunduk-runduk di bawah besi-besi penyangga bianglala yang sudah berkarat. menyelinap di tengah deru suara mesin penggerak yang baru saja mengepulkan asap gelap.
"pergi ke penjual tiket." katamu. dan aku menurut. meskipun aku tahu aku tak boleh lagi membeli tiket. penjual tiket itu lalu mengulurkan sebuah amplop padaku. isinya sebuah pesan yang lebih halus dari isyarat. kamu seolah berbisik dalam pesan itu...
"seperti menaiki bianglala
kamu di atas
aku di bawah
di setiap putarannya
kita tetap tak bisa bersama..."
aku lalu menengadah mencoba mengikuti putaran bianglalamu. putarannya bahkan jauh lebih lamban dari putaranku. aku tahu kau akan berada di sana jauh lebih lama lagi. jadi aku pergi dan berlari ke tanah lapang jauh dari hiruk pikuk pasar malam itu. sesampainya di sana pagi mulai datang. penjual balon baru saja melepaskan balon-balon tak terpilih ke langit yang semakin membiru. aku meminta satu. menulisinya pesan lalu menerbangkannya ke angkasa. seperti biasa. satu tahun sekali.
"selamat tinggal pasar malam
bukan bianglalamu yang menarikku kesana
bukan pula manisnya gula-gula
atau badut dengan bola-bola
tapi kenangan akan balon pertama yang kau belikan
setiap malam sebelum ramadhan
selamat tinggal pasar malam
sampai jumpa tahun depan..."
agustus 1986-agustus-2009
Salam ramadan al mubarak
ReplyDelete